dsc01321Saya sedang mengisahkan sebuah pengalaman perjumpaan dengan Kahlil Gibran. Saya lupa kapan dan di mana. Ketika mencoba untuk mengingat-ngingat, saya seperti menjumpai Kahlil Gibran di Wadi Qadisha di utara Lebanon puluhan tahun silam. Ketika itu Gibran masih muda dan tampan. Tapi ketika mencoba mengingat-ngingat lagi, saya seperti pernah berjumpa Kahlil Gibran di Beutung Ateuh, Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darusallam baru beberapa bulan atau beberapa minggu lalu persis ketika saya juga sedang beranjak tampan dan gagah.

Dalam perjumpaan itu, kami mengisahkan banyak hal, tentang agama, sekolah, anak-anak, keluarga, kematian, kehidupan, tentang alam dan macam-macam. Tetapi satu hal yang saya tidak terlalu simpatik dari Gibran ketika itu adalah ia selalu memuji keagungan Lebanon dengan rimbunan cedar-nya. Ia pun mengagung-agungkan tebing-tebing tinggi dengan desiran angin tipisnya.

Seperti tidak mau mengalah, saya pun membanggakan keelokan hutan Leuser yang membentang bagai permadani hijau nan luas. Mengagung-agungkan Leuser sebagai jantung oksigen dunia yang dapat disejajarkan dengan hutan Amazon.

“Jangan pernah berbangga dengan mimpi” Gibran tiba-tiba saja mengingatkanku tentang sesuatu sambil mengacungkan jari telunjuk ke langit jauh. Saya tersintak mendengar kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Gibran membuyarkan segala mimpi dan optimismeku. Harapan-harapanku menjadi semakin lentur lantas tertumbuk pada debu.

“Akankah sesuatu terjadi pada Leuser?” saya mengejar dengan tanya. “Bangunlah dari tidurmu, buka matamu, tajamkan pandanganmu, pasang kupingmu, adakah kamu mendengar, melihat dan merasakan sesuatu?” Gibran balik bertanya.

Saya terdiam sejanak. Saya mencoba membongkar waktu, mendengar cerita kawan-kawan, membaca tulisan-tulisan koran, menguping berita-berita radio, sesumbar di televisi, melirik selebaran-selebaran, bahkan nimbrung gosip-gosip para sahabat.

Saya tersintak. Benar-benar tersintak karena dari catatan-catatan itu cepat atau lambat Leuser akan menjadi serupa kubangan derita. “Gibran benar” kataku dalam hati. Sebentar lagi Leuser kehilangan mistiknya. Kekuatannya akan lumpuh di bawah cengkeraman kelobaan manusia.

Tidak akan ada lagi jejak harimau. Jejak rantai baja akan mengusir segala harimau ke pinggiran hutan. Manusia akan menjadi seperti harimau, yang meraung-raung di antara pohon dan lekukan lembah dan gunung. Sementara harimau akan mengungsi ke pinggiran kota, menunggu santapan kepala bocah-bocah sebelum akhirnya punah.

Tidak akan ada lagi lolongan anjing malam. Berisik mesin-mesin tenaga listrik akan mengusir anjing-anjing itu dari sarang-sarangnya. Dan dari balik sarang-sarang itu, sekumpulan manusia serupa anjing akan melakukan meeting memikirkan bagaimana baut bisu mambangun konstruksi.

Tidak akan ada lagi binatang melata. Ular dan buaya mungkin akan terkubur di balik lumpur. Babi hutan tidak lagi mengendus dedaunan dan akar busuk. Manusia-manusia yang akan berganti melata dan mengendus. Mengendus, mengorek dan mengobrak-abrik jantung Leuser. Manusia sudah serupa ular, penciumannya sudah serupa babi.

Tidak akan lagi monyet. Manusia akan datang meloncat di antara pohon. Mematahkan ranting-rantingnya dengan mesin-mesin pemotong. Membuat peti mati untuk kehidupannya.

“Gibran benar” kataku sekali lagi dalam hati. Leuser tidak pantas untuk dibanggakan. Tidak pantas untuk diagung-agungkan. Karena suatu saat nanti Leuser akan menjadi serupa kubangan derita dan anak cucu manusia berenang-renang di atasnya, sampai sulit untuk membedakan antara sakit dan sembuh, bahagia dan duka, masa depan dan hari ini.

Serupa lumpur semuanya mengental satu, susah diurai, mana manusia, mana binatang, mana hari ini, mana hari depan, mana uang, mana luka, mana emas mana tahi, mana mati, mana hidup.

“Kawan, mari kita ke Wadi Qadisha, mari kita sejenak bersandar di tebing-tebing Cedar” Gibran membuyarkan lamunannku. “Jangan kawan, mari kita ke Beutung Ateuh, saya akan menunjukkan sesuatu sebelum senja datang menghinggap, mungkin ada sesuatu yang bisa kita selamatkan” pintaku memaksa.