Pertanyaan yang mengejutkan. Tidak disangka pertanyaan itu akan datang tiba-tiba dari seorang pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah dengan tas di punggung penuh buku pelajaran, yang jika tidak salah kedua hal itu wajib dikenakan dan dimiliki oleh seluruh pelajar di Indonesia. Sebab jika tidak, maka tidak tepat disebut sebagai pelajar.

Mengapa? Aku mencoba mengejarnya dengan tanya ‘Tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan diri, sedikit-sedikit langsung dipotong, katanya program gak bagus dan uang gak ada lah…terus uang sekolah yang kami bayar pada ke mana semua, huffffff” jawabnya mengeluh, dahinya mengerut.

Ia membuka baju putihnya, disepakkan ke samping, sedikit terlihat logo biru langit bertuliskan ‘Tut Wuri Handayani’ terkulai. Sementara tas sekolahnya yang penuh buku dibantingnya ke lantai. Beberapa buku terpental keluar tas, terbaca sepintas judul pada salah satu buku ‘Panduan Persiapan Mandiri Ujian Nasional & Ujian Sekolah SMA/MA IPS 2010/2011’.

“Untuk apa sebenarnya sekolah?” tanyanya. “Sekolah adalah sebuah proses belajar untuk menjadi diri sendiri, dimana kita diberi kesempatan untuk menjadikan baju sekolah sebagai kain pel lantai, dan belajar bagaimana supaya buku-buku pelajaran dapat dijadikan sebagai bungkusan tomat di pasar’ jawabku. Dia tersenyum. Rupa-rupanya sang pelajar tahu maksudku, kemudian dia menanggapi “Betul, sekolah sebenarnya harus membantu kita menjadi diri sendiri, dan apa pun mata pelajarannya harus bisa menjawab situasi kongkret”

Tanggapan yang masuk akal dan jarang ditemui. Namun, tentang keluhan sebenarnya sudah sangat lumrah. Keluhan yang sama bagiku tidak hanya dialami pelajar yang satu ini, tetapi juga hampir merata di seluruh negeri ini. Bahwa ruang kelas dan sekolah hanya dijadikan sebagai tempat pen-jagal-an pengetahuan, sementara hakikat sekolah dan roh ruang kelas dicerabut oleh sistem dan kelaziman yang timpang. Entah karena terlalu mendewakan kurikulum yang baku bagai kitab suci, maupun pada sistem pengajaran yang tidak memihak pada kebutuhan pelajar itu sendiri.

Tidak hanya itu, proses pendidikan yang seharusnya menekankan pada pembangunan kemanusiaan manusia pelajar justru diabaikan lantaran lebih menekankan pada angka-angka kelulusan. Lantaran itu tidak heran jika para pelajar ‘seperti kerbau dicocok hidung’ mengikuti irama yang ada, belajar yang segiat-giatnya, mengerjakan pekerjaan rumah sebaik-baiknya, menjawab soal ujian sebenar-benarnya dan bersikap sesantun-santunya di hadapan guru. Agar dengan demikian sang pelajar akan disebut sebagai yang baik dan berprestasi.

Serupa itukah hakikat pendidikan, sesungguhnya sekolah dan situasi ruang kelas? Keluhan sang pelajar tentang ‘tidak memberikan ruang bagi siswa untuk berkreativitas’ adalah jawaban sekaligus protes. Selanjutnya pertanyaan ‘untuk apa sekolah?’ merupakan tamparan keras sekaligus refleksi yang menarik bagi kultur pendidikan di negara ini. Program pendidikan di negeri kita selalu harus ditagih untuk dievaluasi.