Pada 2006, Kompas Gramedia Fair menyelenggarakan Pelatihan Singkat Penulisan Kreatif  menghadirkan dua nara sumber beken Naning Pranoto dan Kurnia Efendi. Pada ketika itu, kata Naning Pranoto, ‘‘saya menulis karena saya sekolah, saya belajar menulis’’, sambil membagikan buku-nya yang berjudul ‘Creative Writing, 72 jurus seni mengarang’ (PM Pusata, 2004) kepada para peserta. Sebuah buku yang jelas menunjukkan bahwa perempuan yang menghadirkan belasan novel dan ratusan cerita pendek ini adalah seseorang yang sangat menghargai skema, aturan dan system dalam sebuah proses penulisan.

Sementara  kata Kurnia Efendi ‘Saya sudah punya judul tulisan namanya  ‘anak arloji’ tapi saya belum tahu hendak menulis tentang apa dengan judul itu’, sambil tersenyum. Berbeda dengan Naning Pranoto, Kurnia Efendi jauh lebih mencair. Buktinya, judul tulisan tersebut baru tujuh tahun kemudian, tepatnya pada Maret 2011, diterbitkan menjadi sebuah buku bersamaan dengan kumpulan cerita pendeknya yang lain.

Menariknya lagi kisah keduanya, masih pada ketika itu, kata Naning Pranoto ‘‘jika hendak menulis sebuah karya, saya akan mencari waktu dan melupakan segala hal dan berkonsentrasi untuk menulis’’. Sudah barang tentu, proses penulisan taat skema dan aturan yang ditetapkan.

Berbeda dengan Naning, kata Kurnia Efendi ‘’saya biasanya mengumpulkan dulu judul-judul tulisan, isinya belakangan, dan nulisnya bisa kapan saja. Intinya menulis”. Jika ingin ditelisik, sesungguhnya apa yang sudah sedang dilakukan Kurnia Efendi bukan hanya butuh ‘bakat alam’ tetapi juga konsistensi tingkat tinggi pada kesempatan dan rasa.

Berangkat dari dua karakter proses penulisan di atas, dari dua karakter dan latar belakang yang berbeda, maka kita, sekurang-kurang saya jadi mengerti bahwa dalam menulis (tentang apa saja) proses adalah penting. Baik Naning Pranoto maupun Kurnia Efendi, kita sama-sama tahu bahwa dari jari-jari tangan mereka lahir ratusan cerita pendek, novel dan tulisan-tulisan bergendre sastra lainnya.

Namun, satu yang menjadi pembeda, bahwa proses untuk sampai pada memproduksi karya-karya tersebut adalah unik dan khas. Lantaran itu, mungkin ini terkesan sebagai anjuran yang sok bijak, bahwa pertama, menulis dengan gaya sendiri adalah yang pertama dan utama. Menulis tentang sesuatu dengan mengerahkan segala energy sejauh mana kita menulis, serupa apa bentuk, pun sampai pada kata mana yang tepat untuk dirajut untuk menjadi serupa apa adalah sesuatu yang khas dan unik. Menulislah yang “sesuatu banget buat gw” sehingga hasil karya yang terlahir dan terbaca membuat kita sadar dan berkesimpulan ‘’wow gw banget”.

Kedua, namun demikian kita tidak diminta untuk selanjutnya tutup mata dalam belajar dari mereka yang karena karya-karya mereka disimak banyak pembaca lantaran kualitasnya berbobot. Dengan catatan tidak meniru, kita hendaknya belajar untuk sejauh dapat menajam-asah proses yang sudah sedang kita lakukan. Jika hendak menulis puisi, banyak-banyaklah membaca puisi. Jika hendak menulis prosa, banyak-banyaklah membaca prosa. Pun karya tulis apa saja, berbanyaklah membaca.

Ketiga, satu poin penting yang perlu dipetik dari dua penulis-pengarang yang saya angkat dalam catatan ini, Naning Pranoto dan Kurnia Efendi adalah konsistensi. Tanpa konsistensi dalam sebuah proses, sudah barang tentu hasil akhirnya akan gagal total. Ketekunan, kreatifitas, dan kesanggupan untuk menciptakan ruang suasana yang nyaman adalah sebuah paket konsistensi yang penting. Tanpa itu, jangankan jadi penulis-pengarang, jadi pembaca saja, bisa gagal.