dsc05977Sore itu, wajah sungai kelabu. Gelagatnya pun memburu. Menampar-nampar batu, mencabut-cabut akar-akar berjumbai layu, menggerus serta tanah yang bisu.

Seekor cacing mengeluh ‘mengapa aku terbawa arus hulu, sedang aku bukan berudu, aku tidak pernah berubah jadi sesuatu, selain serupa aku melata lugu, yang hanya mampu menggembur tanah debu.

 Pun ada yang mengadu, tidak sudi membasuh wajah yang layu, walau sepanjang hari berpeluh lesu. Berenang di dunia keruh, ‘aku sendu’ Umpat mujair di balik terumbu.

Sebab, sudah jadi seteru Hujan di gunung telah menimpa tanah tanpa penghalau. Leuser telah kehilangan rimba hijau. Daun-daun jatuh pada debu Ditindih batang tubuh kayu.

Sedang, dari atas utas kulit kayu, yang terentang antara jalan-jalan buntu. Tiga bocah Beutung Ateuh berlalu dengan tawa yang lugu. Dari balik wajah yang kemayu. Seperti tidak mengerti apa artinya lucu.  

Mereka tidak tahu, di bawahnya arus berseteru. Menampar-nampar waktu. Mencabut-cabut akar-akar sejarah masa lalu. Membawa serta tanah leluhur yang tergerus bisu.