Aula masjid Polresta Cirebon yang biasa digunakan untuk Salat Jumad porak poranda. Peristiwa kelam yang terjadi pada 15 April 2011 saat salat Jumat sekitar pukul 12.35 wib itu dipicu oleh ledakan bom bunuh diri. Kata Siti Khotijah, salah seorang seorang saksi mata “Banyak polisi berdarah-darah ke luar. Belum tahu berapa jumlah korban. Para korban dibawa ke Rumah Sakit Pelabuhan”

Menanggapi peristiwa peledakan bom bunuh diri tersebut, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, bom bunuh diri di masjid membuktikan bahwa terorisme tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam.

“Ini bukti yang tak terbantahkan, bahwa, terorisme  tak identik dengan Islam dan ajaran Islam. Karena mereka juga menghancurkan masjid dan aparat,” kata Hasyim saat dijumpai di Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan di Hotel Borobudur, Jumat, 15 April 2011.

Hasyim pun meminta dihentikannya tudingan miring yang mengaitkan Islam dengan terorisme. “Jadi saya berharap, agar suara-suara miring yang masih menuding Islam segera dihentikan,”  ucap Sekretaris Jenderal Internasional Conference of Islamic Schoolars (ICIS) ini.

Memang Bukan Muslim

Benar kata Muzadi dan secara pribadi, saya meyakini itu sungguh bahwa bukan seorang Muslim yang melakukan tindakan sekeji itu. Sebab agama-agama yang saya ketahui termasuk yang saya anuti tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan dan permusuhan. Apakah Tuhan Allah mengajarkan kita saling membunuh satu sama lain? Apakah Tuhan Allah mengajari kita saling membendi dan menaruh dendam? Dan apakah Tuhan Allah mencatatkan kalimat-kalimat-Nya dalam Kitab Suci untuk berperang dan bermusuhan? Jawabannya tentu saja TIDAK.

Lantaran itu, jika saya hendak berpendapat, maka pelaku peledakan bom bunuh diri, baik yang terjadi di Cirebon beberapa hari lalu atau pun di tempat lain dan di belahan dunia lain adalah tindakan orang kafir, pribadi yang tidak beragama, manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan.

Sekalipun toh mereka menyebut nama Allah dan atas nama Allah atau menyebut atas nama Nabi Muhamammad sebelum melakukan peledakan, atau mengumandangkan nama Yesus Kristus sebelum menarik picu peledak, sesungguhnya apa yang sudah sedang mereka lalukan hanya mencari-cari argumentasi logis dan atau pembenaran dan pengakuan iman semata. Sesungguhnya dan sebenarnya, mereka bukanlah pribadi-pribadi beragama.

Catatan Argumentasi dan Pengalaman

Saya mengawali catatan argumentasi dan pengalaman ini dengan dua latar-landasan tentang Islam dan Perdamaian yang pertama saya kutip dari Hermanto Harun, Alumnus Universitas Al Azhar Mesir dan dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi dan kedua berdasarkan kesaksian dan pengalaman saya pribadi dalam keseharian hidup saya bersama para santri dan santriwati di sebuah pasantren di Nanggroe Aceh Darusallam.

Pertama, menurun Harun, dalam tulisannya yang berjudul ‘Islam dan Perdamaian’ Islam sejatinya diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi dengan perantaraan Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Qs. 21:107) dan bukan hanya pengikut semata. Islam pada intinya, tulis Harun lebih lanjut, bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini : Al-Islam. Harun mengutip al-Ghazali, secara leksikal Islam dalam bahasa al-Quran, bukan nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa oleh Nab-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka.

Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Jelas Harun lebih lanjut, konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan bagaimana sikap toleransi (tasawuf) dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl-alkitab maupun kaum mushrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.

Kedua, berdasarkan kesaksian dan pengalaman pribadi dalam keseharian hidup saya selama hampir kurang lebih dua tahun bersama para santri dan santriwati di salah satu pasantren di Nanggroe Aceh Darusallam, saya menyimpulkan bahwa Islam sama sekali tidak mengajarkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Suatu ketika pemimpin pasantren yang sering saya panggil Abu mengatakan kepada saya ‘kepada binatang saja kita harus menghargai hak hidupnya, apalagi kepada manusia. Jadi dalam Islam tidak ada kekerasan. Yang ada adalah toleransi, kasih sayang dan kerhamonisan”

Kata Abu lebih lanjut “pelaku teror itu menyebut dirinya beragama, tetapi sebenarnya tidak, karena mereka tidak beriman kepada Allah SWT” kalimat inilah yang paling menyentuh hati saya. Bahwa sesungguhnya beragama saja tidak cukup tetapi harus memiliki iman. Berlatarkan dua argumen di atas saya meyakini dengan sungguh bahwa yang melakukan berbagai aksi kekerasan dengan tameng agama Islam sebenarnya bukan seorang Muslim, tetapi sekumpulan orang kafir. Sekumpulan orang yang hanya menyebut dirinya sebagai beragama, tetapi sebetulnya tidak beriman kepada Allah SWT.

Sejujurnya saya bukan seorang Muslim, saya seorang Kristen Katolik. Tetapi ketika mendengar berita media dan isu gosip ‘tahi burung’ yang mengatakan bahwa yang melakukan berbagai tindak kekerasan dengan jalan teror dalah seorang muslim, maka saya pun merasa tidak tenang. Saya pun harus angkat bicara dan sebagai seorang umat beragama saya wajib mempertahankan hakikat Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam adalah agama penuh damai dan kasih sayang, seperti apa yang diaajarkan dalam agama saya.

Sebagai warga bangsa dan umat beragama (apa pun) seharusnya kita bersikap jernih dalam menilai dan mengambil sikap. Bahwa sesungguhnya Agama apa pun tidak mengajaarkan kekerasan dan sikap dendam apalagi permusuhan dan perang. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, KongHuFu adalah agama kasih dan damai.