Malam-malam. Pada ketika bulan bersembahyang. Langit pulas terlelap. Dingin menyerbu dinding-dinding kamar. Dan sepasang badan berseteru dalam gemas. Pada ketika itu, seorang perempuan dipanah anak pena. Seusai diruncing ciuman paling tajam. Biar mati seketika. Dibumbui cumbu bibir lembut pada ujungnya. Jadi racun.

Perempuan itu tak mengira, ia akan ditikam mengenai jiwa. Mengenai hakikat rasa. Kemudian terlempar ke sudut kamar. Bersimpuh rendah, tergeletak bagai kertas. Di atas karpet merah darah yang membentang muasal dari segala muasal, ia meneteskan setitik air mata. Air mata yang kemudian menetas jadi anak-anak kata

Perempuan itu tak menyangka, bahwa ia akan dikerubuti anak pena, kata-kata, sebelum ajal mencengkeramnya. Dalam lunglai, mata kecil perempuan itu, masih bisa menyaksikan anak-anaknya meloncat-loncak ke dadanya, menggelantung di putting payudaranya. Sebagian meloncat ke hidung seperti udara. Sebagian lagi meloncat ke telinga seperti suara. Sebagain yang lain meloncat ke kedua belah bibirnya seperti kecupan.

Anak-anak itu meminta harapan. Meminta cinta. Meminta kehidupan. Meminta dibaca. Sebelum mereka pergi melalu-lintang ke sudut-sudut buana dan meninggalkan sang ibu yang akan jadi sebatang mayat.

Ajal kian mendekat, berjarak sepersekian jengkal dari tanah. Sekitarnya sudah muram. Perlahan jadi senyap dan gelap. Bulan beranjak. Langit masih lelap. Dingin kian ganas, menerobos hingga ke sendi-sendi kamar. Ciuman pudar, kehangatannya lenyap. Namun sebelum semuanya sudah, segalanya tuntas, sang perempuan, ibu kata-kata dan istri penyair itu tiba-tiba lesatkan kata:

“Anak-anakku, kata-kata

Kepada ayahmu, penyair di seberang

kukembalikan pena yang nyaris patah.

Katakan kepadanya:

Aku bahagia menjadi ibu

dari seorang ayah yang tak pernah mengucapkan sudah,

karena selalu menagih tubuhku lagi dan lagi