kris bhedaSebelum Gibran hijrah ke Boston Amerika, ia merasakan keindahan alam Lebanon dengan rimbunan Cedar-nya sebagai tempat sekaligus sahabat yang dapat mencurahkan segala isi hati. Ketika ayah dan ibunya bertengkar, atau melihat situasi di sekitarnya tidak membuat hatinya tenteram Gibran lantas menyepi ke rimbunan Cedar, memandang aliran air di Wadi Qadisha demi menenangkan hati. Bahkan sampai di tempat perantauannya yang jauh di New York, Gibran masih merindukan alam Cedar.

 Tampaknya alam dalam pandangan Gibran tidak sekedar sebagai ilham yang senantiasa melahirkan inspirasi, tetapi lebih dari itu alam adalah teman, guru, juga ibu tempat di mana ia berbagi kisah dan cerita. Dalam karya-karyanya, Gibran melukiskan alam lebih dalam dari sekedar guguran daun, gemercik air, senandung gelombang, atau kicau burung. Metafor-metafor yang dilekatkan pada alam menandaskan tentang makna yang jauh lebih dalam dari yang tampak. Lantas, apakah alam semesta bagi Gibran, dan bagaimana Allah dijumpai di dalamnya?

 Alam Sebagai Anugerah. Gibran memandang alam sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baginya alam selain sebagai makhluk yang hidup juga merupakan sahabat tempat manusia mencurahkan isi hatinya dan belajar tentang arti  kehidupan. 

 “Suatu ketika Fardus orang Yunani berjalan di taman dan kakinya terantuk pada batu. Fardus mengumpat “dasar benda mati celaka”. Melihat itu, Al-Mustafa berkata: “Mengapa engkau berkata dan memaki benda mati? tidaklah kau ketahui bahwa tidak ada benda mati di sini? Semua hidup dan menyala dalam pengawasan hari dan perlindungan malam. Engkau tidak berbeda dengan batu ini, hanya saja jantungmu berdetak lebih cepat dari denyut nadinya-meskipun tidak lebih tenang.”

 Tidak mengejutkan jika Gibran menyebut batu sebagai makhluk yang hidup. Gibran melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta menghadirkan dan memantulkan kemahakuasaan Allah. Allah menyerap dalam segala sesuatu sehingga yang imanen tidak hanya menjadi suatu bagian yang menyatu dengan-Nya, tetapi juga semua menjadi ‘hidup dan menyala’ Dalam latar pemikiran inilah Gibran menegaskan bahwa dengan demikian alam semesta tidak harus disisihkan dalam kehidupan manusia. Dalam Alam dan Manusia, Gibran menyerukan agar manusia mencintai alam secara sungguh. Menjaga kesehatan udara, mencintai bunga-bungaan, menjaga kejernihan air dan menyayangi burung-burung di udara, sebab semuanya adalah anugerah Allah.

 Sebagai ciptaan dan anugerah Allah segala sesuatu di alam semesta harus dihargai, sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Bahkan lebih dari sekedar makhluk yang hidup Gibran menyapanya sebagai saudara, sebagaimana layaknya seorang sahabat.

 “Wahai kabut, putri sulung ibuku…engkaulah saudaraku. Bersamamu kini aku menyatu. Kedirianku telah lenyap dan hilang, segala tepian pembatasku juga telah tumbang, dan segala rantai dan belengguku tak lagi menghalang. Bersamamu aku akan melayang, bersamamu akan kuarungi samudera zaman, hingga nanti masa kedua dari kehidupan. Ketika pagi menabur embun di sebuah taman, aku akan menjelma bayi, dalam dekapan seorang perempuan.”

 Alam Berziarah Menuju Allah. Gibran tidak hanya berhenti memandang alam semesta sebagai anugerah Allah yang memantulkan kemahakuasaan-Nya, namun lebih jauh dari itu ia melihat bahwa sebenarnya alam semesta sedang berziarah menuju cita-cita yang ada di seberang eksistensi kemakhlukannya. Gibran melihat arah ziarah alam sebagai satu kesatuan yang utuh, menuju satu tujuan yang sama seperti manusia, yakni berziarah menuju Allah.

 Menelaah lewat pandangan Teilhard de Chardin, Gibran sebenarnya mau menjelaskan bahwa semesta alam sebagai suatu evolusi. Seperti diketahui Chardin menyelediki evolusi dengan bentuk yang dipisah-pisahkan berdasarkan macam-macam ilmu pengetahuan, yang berturut-turut menampilkan hasilnya pada bidangnya masing-masing, yakni fisika pada bidang alam, biologi pada bidang hidup, paleontologi dan antropologi pada bidang manusia. Bagi Chardin melalui proses fisis, biologis dan psikis alam semesta maju. Puncaknya ialah perkembangan cinta kasih yang makin sempurna, yang menyatukan manusia yang satu dengan yang lain dan dengan prinsip yang merupakan tujuan seluruh perkembangan kosmis, Titik Omega, yang kita sebut sebagai Allah. Allah hadir dalam dunia sebagai titik api dari kosmos, yang juga dituju oleh seluruh alam semesta.

 Daya tarik yang menggerakkan gerakan centripetal (gerakan yang mengarah kesatu sumbu utama/pusat) ini adalah cinta. Allah yang menjadi pemersatu, menarik bagian-bagian kesadaran ke arah dirinya sendiri. Ia tidak hanya sebagai sumbu perkembangan tetapi juga merupakan tujuan perkembangan seluruh evolusi kehidupan. Pada hakikatnya Gibran hendak mengatakan bahwa segala makhluk dalam alam semesta ini berziarah menuju Allah, dalam bahasa Chardin bahwa kosmos atau alam semesta ini bergerak menuju persatuan dengan Allah, dan poros itu digerakkan oleh Allah.