Punulis Bersama Khakek Syech Astaga

Siapakah itu seniman? Berbicara tentang seniman, sebetulnya kita sedang berbicara tentang rasa. Dan rasa itu lentur berkelit di antara jarum waktu, menerobos ruang gelap, tak lelah bertanya tentang realitas, juga tak jera membentuknya menjadi fakta. Dia bangun ketika kita semua sedang tidur, dan tidak pernah tidur ketika kita semua bangun. Siang dibuatnya menjadi singkat dan malam adalah sahabatnya untuk bertukar tutur.

Dia punya rumah, tetapi tidak menjadi tuan atasnya. Dia punya nama tetapi tidak menjadi milik atasnya. Dia punya karya, tetapi tidak menjadi tuan atasnya. Meminjam istilah Promoedya Ananta Toer ”aku hanya ibu yang melahirkan, dan kalian yang membesarkannya”  itulah seniman.

Seniman adalah rasa, dan dia sudah ditakdirkan untuk dilahirkan supaya kita menafsirkannya. M. Tahar adalah manusia rasa, seniman serba bisa yang telah melemparkan dirinya ke dalam realitas untuk ditafsirkan. Pada sebuah kesempatan pria yang biasa dipanggil Khakek ini berujar “saya memang bukan orang Aceh,  tetapi jika ada orang yang mengatakan saya bukan orang Aceh, saya pasti marah”

Apakah ini sebuah penolakan atas titirasanya? Rupa-rupanya tidak. Jarum waktu telah melemparkannya menjadi seorang manusia Aceh. Meninggalkan Medan dan menetap di Meulaboh Aceh Barat, lantas ingin menghabiskan sisa hidupnya di bumi Teuku Umar ini, menjadi alasan utama mengapa Khakek ingin menjadi bagian dari orang Aceh.

“Panggil saja saya Syech Astaga” katanya lagi suatu ketika. Mengapa harus Syech Astaga dan bukan M. tahar atau Kakek? Rupa-rupanya juga bukan tanpa makna. Astaga adalah celetukan spontan atas fakta, kekagetan atas peristiwa, juga kejelian menanggapinya. Namun bukan tanpa muatan nilai.

Tahun 2004, Nanggroe Aceh Darussalam larut dalam duka dihantam gempa dan tsunami. ‘Astaga…’ M. Tahar pun terhempas dari Padang Serahet. Dan dia pun kehilangan sang putra. Di atas puing-puing kehancurannya itu, dia membangun Gapura, sebuah menara yang mengatakan rasa itu masih ada.

Rasa itu pun berkibar dalam karya-karya yang sulit lupa. Kanvas dijadikannya cerita, cipratan cat kuasnya adalah puisi, tuturnya mewujud dalam haba she lagge, dan ia pun mengemas Komunitas Seni Damee Meulaboh menjadi  ‘astaga’ yang menyentak ruang sadar dan ruang rasa kita.

“Seniman itu harus berani berinovasi dan berkreasi. Dengan catatan penting bahwa harus punya latar yang jelas, berakar pada sebuah sumber yang bisa dipertanggungjwabkan” katanya. “Misi saya selanjutnya adalah membangun budaya damai lewat seni, atau menjadikan seni sebagai media pewartaan perdamaian Aceh” jelasnya.