Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur (NTT) secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi salah satu di antaranya adalah sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan. Fungsi ini terlihat dari beragam motif tenun ikat yang tersebar di berbagai daerah di NTT.

Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.

Motif, corak dan atau desain sebagaimana yang digambarkan di atas tidak sekedar menampilkan sisi estetika/keindahan dan atau sekedar mau mengatakan perihal kedekatan antara manusia dengan alam. Tetapi lebih dari kedua hal tersebut sebenarnya merupakan mitos, lambang keberadaan suku, status sosial dan juga merupakan wujud keyakinan atas kekuatan atas sesuatu yang transsendental.

Sebagai misal motif udang pada kain tenun ikat Sumba Timur. Sudah secara turun temurun orang Sumba Timur meyakini hidup ini tidak dilenyapkan. Bahkan di balik kematian, ada kehidupan. Keyakinan tersebut dilukis-sampaikan dalam dan melalui syair “Dulu La Kuraluku Halukulamanumara” (seperti udang itu menjelma di kali, di sungai dan seperti orang-orang dulu yang beragama asli dan juga mereka mengatakan setelah kematian ada kehidupan”.

Selain motif udang, kain tenun ikat Sumba Timur terdapat juga motif buaya dan penyu. Kain tenun ikat yang bermotifkan buaya dan penyu biasanya hanya dipakai oleh raja-raja, lantaran penyu dan buaya merupakan lambang keagungan dan kebesaran dari seorang raja.

 

Sumber: