Lima kilo meter dari Al Hidayah, tepatnya di jantung kota Malabiah, di bawah rumah beratap megah dalam kamar penuh boneka, dihiasi dinding  penuh taburan bunga marun, Sarah menjadi perempuan yang menderita.  Hari-harinya kian hampa, bergulat dengan rasa yang sesak. Jiwanya berontak hebat mencoba untuk keluar dari keputusannya sendiri yang hampir menetas.

“Aku harus segera mengucapkan syahadat, bukan hanya karena Azam, tetapi lebih dari itu karena Allah dan Muhammad rasul-Nya”

Pergulatan itu kian memuncak. Tampak mau meledak pada hari puasa ke 21, 1431 Hijriah, ketika malam penuh bintang turunkan hidayah atas ummatnya. Tetapi tiada siapa yang mendengar, semua bagai tak bertelinga.

“Berdosakah aku jika aku harus meninggalkan semua, melepaskan segala, karena kebutuhan akan pemenuhan makna jiwa?…” Sarah pinta dengan meronta.

“Tidak..tidak… aku tidak mengkhianati Rujiao atau Konfusius. Rujiao atau Konfusius sudah mengantarkanku menjadi orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur…namun aku belum menemukan sejatinya kebenaran. Akan kelak, dalam Islam aku menemukan itu”

Sarah terus bergulat. Dalam kesendirian tubuhnya menggigil. Jiwanya bagai melayang lepas entah ke entah. Peluh mengalir dari keningnya yang bening. Rambutnya pecah pada bantal yang lembab. Di wajah kaca lemari baca, pribadinya serupa retak, pecah berantakan.

Sarah sadar betul, konfusianisme tidak mengajarkannya tentang dosa. Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Sarah dan Penganutnya yang lain diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini.

“Apakah aku berkhianat terhadap segala tali sejarah nenek moyang. Terhadap ayah dan bunda. Mereka pasti akan menolakku, mengusirku dan menganggapku sebagai pecundang” Sarah mengumpat dirinya sendiri.

“Aku pecundang, pengkhianat…..tapi aku tidak berdosa..tidak bersalah…..Aku sudah menemukan kebenaran dalam Islam, segala yang kualami selama ini adalah falsafah dan pandangan moral” kta-kata itu melepas terbata-bata, tak berarah.

Namun demikian Sarah sadar, bahwa ajaran konfusius atau Rujiao yang diyakininya merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Dan, jika ia harus berpindah menjadi muslimah, ia yakin segala moral dan akhlak justru menjadi lebih diperkuat dalam landasan iman dan keyakinan kepada Allah.

“Hufz….hufz…hufz….Zzz..z”  mendesis keras tak berupa kata, tak berbentuk kalimat. Lepasan kata tak bermakna melejit-lejit dari dua belah bibirnya yang gigil. Hendak ia berteriak keras. Hendak ia koyakan jiwa. Hendak ia runtuhkan tubuhnya. Tapi ia bagai tak berdaya.

“Hufz….hufz…hufz…. Zzz..z” suara tanpa rupa kata itu kembali lepas. Sembari tangannya mencengkram ujung piyama. Ia mencaik-cabiknya, hingga nyaris menelanjangi dirinya. Setengah lengannya terlepas. Rambutnya gugur terurai. Menutupi separuh wajahnya yang tertelungkup.

Jilbab jingganya terlempar di sisi sebelah kanan. Sebuah guling melayang ke atas meja belajarnya, memecahkan tempat pena, menjatuhkan catatan harian. Segalanya porak poranda. Seperti hatinya yang tak berbentuk rupa. Seperti jiwanya yang remuk redam. Sarah seperti gila.

Ia benar-benar jatuh terjerembab dalam pengalaman yang tak terlukiskan dengan kata. Ia memasuki momen perbatasan yang tak pernah dialami dan dilalui oleh manusia kebanyakan. Sebuah momen ‘antara’. Antara kepasrahan yang total yang berujung pada kematian dan kehendak untuk melakukan pemberontakan yang tuntas hingga hidup tercerahkan.

Sarah memasuki momen dan wilayah itu. Ia memasuki sebuah wilayah di mana ia harus menjatuhkan keputusan. Yang jawabannya masih di entah. Entah berbuah duka atau cita. Berbuah derita atau bahagia. Sarah benar-benar berpasrah. Benar-benar melepas segala jawaban kepada alam dan Tuhan Sang Maha Tahu.

Dalam keputusan yang belum terjawab tuntas, Sarah merebahkan diri dalam kelelahan yang panjang. Tubuhkan direntangkan tak berarah, dengan kaki dan tangan dibiarkan melempang. Segala sendinya bagai lepas. Peluhnya masih terus jatuh mengalir. Antara sadar dan tidak, Sarah perlahan pejamkan mata. Terkulai lemah dalam lelap yang kian dekat menerjangnya.

Tidak berapa lama, di bawah temaran lampu kamar merah jingga, Sarah melepaskan raganya dalam tidur yang panjang. Di luar jendela, purnama beranjak tinggi. Cerah. Secerah wajah Sarah yang pulas. Angin kecil menepi berlari-lari mengepak-ngepak furing jendela. Melepas kesejukan. Di bawah malam purnama itu Sarah mekarkan bunga mimpinya.

Mimpi tentang keabadian. Mimpi yang selanjutnya menjadi kekuatan baginya untuk semakin membulatkan pilihan dan keputusannya kelak. Mimpi yang baginya adalah petunjuk dan hidayah dari Allah.

Sebuah peristiwa rasa tanpa dosa, tanpa salah, tiada sesal, tiada pula pengampunan. Segalanya putih suci mempesona. Disaksikan malam dengan purnama dan kerlap-kerlib bintang. Serupa dimaklumi alam semesta, bahwa keduanya adalah pangeran dan puteri alam semesta.