sepatuAku dilahirkan untuk ditakdirkan menjadi ‘hamba’. Namun, aku pantas berbangga, karena harus pula menjadi teman setia dalam setiap perjalanan bersama tuanku. Itu cita-citaku sejak awal. Sejak aku diciptakan oleh tangan-tangan manusia. Di depan pintu rumah, tuan menanggalkanku “tanggalkan sepatu” atau tanggalkan sandal” atau “tanggalkan kasut” Tinggalah aku jadi penunggu. Di dalam lumpur dan di jalan berdebu “Anak-anak kamu harus mengenakan sepatu seperti ayah” Jadilah aku pelindung.

Di depan penyemirku, aku menangis haru. Anak itu memandikan aku. Dengan wajah kusam, anak itu membuatku menjadi sepasang benda berharga. Sepasang benda sumber nafkah. Jadilah aku penyelamat. Entah apa rasa tuan, entah ingat atau lupa, kepadamu tuan selalu kuberi jejak, hingga aku kau biarkan sendiri menyepi di sudut-sudut ruang. Hingga aku tutup usia. Tapi bagiku tidak mengapa. Itulah kewajibanku, mengabdimu hingga aku usang, mengelupas lepas tanpa nafas.

“Tuan, nafasmu di atas waktu menanjak siang turun ke senja  lelap bersama purnama  di batas tepi usia berpelukan dengan raga tak akan jumpa esok pagi. Kau, kau tidak tahu apa apa. Kau lupa pamit, tetapi tidak mengapa ke dalam tanganmu kuserahkan diriku” selalu aku berdoa serupa itu sebelum aku pergi dan tuan meninggalkanku.

Keterangan gambar:  i291.photobucket.com/…/20090123_sepatu.jpg, madrasahfalsafah.blogspot.com/2009_03_01_arch…