Ini tentang cermin, sebuah benda yang menjadi sangat berguna, untuk melihat ‘kesempurnaan’ diri. Apakah saya sudah tampan atau belum? Sudah cantik atau belum? Sudah oke atau masih belepotan bedak dan minyak rambut?

Cermin juga lekat berkaitan dengan sebuah ‘pengakuan’ diri.  Di hadapan cermin, setiap pribadi bisa mengakui dirinya baik atau tidak. ‘Sempurna’ atau tidak.

Pengakuan diri serupa itu hanya dapat dipahami jika dan hanya jika cermin menampilkan diri dengan jujur. Dan tentang itu cermin tak pernah menipu. Sekali lagi…cermin tak pernah menipu.

Ketika baik, cermin akan menampilkan diri dengan sangat  baik. Lekuk tubuhmu, gemulai senyummu, ramutmu, lubang hidungmu, dan semuanya. Tetapi jika retak, dia pun akan jujur menampilkan diri kita yang pecah. Jerawatmu, ompong gigimu, semrawut kumismu, gundul alismu dan seterusnya.

Kendati cermin tak bisa memberimu wangi dan tubuhmu, bau lipstimu, atau bau ketiakmu, tetapi bukan untuk itu yang kau perlu. Cermin menampilkan yang kasat mata. Yang telanjang. Apa adanya.

Bicara tentang SBY dan cermin, sebetulnya bicara tentang SBY dengan dirinya sendiri sebagai pemimpin, sebagai presiden sebuah bangsa di hadapan cemin-nya yang bernama rakyat dan juga bukan rakyatnya. Di hadapan bangsanya dan juga bangsa-bangsa lain.

Ada dua hal yang tidak sebanding tentang SBY dan cermin. Lantaran ketidakseimbangan itu, tulisan kecil ini muncul. Bahwa, pertama, dihadapan cermin kesayangannya,rakyatnya sendiri, sang presiden tidak tampil tampan lagi. Tubuhnya retak dan jiwanya pun koyak.  Rakyat melihat yang telanjang. Kasat mata. SBY terlalu banyak bicara, tapi tidak banyak berbuat. Terlalu bimbang. Pengecut. Responsif terhadap masalah-masalah luar negeri, seperti  ‘kebejatan’ Israel. Tetapi lupa, pada ‘kebejatan’ Malaysia.

Di hadapan rakyatnya sendiri. Presiden tidak lagi tampil ‘becus’.  Amatan mata telanjang menemukan banyak masalah dan soal. Korupsi yang merajalela, kemiskinan yang menggunung, kebijakan yang tidak merakyat, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kepada siapa SBY berdandan lagi, jika cermin kesayangannya  tidak mengakuinya sebagai tuan atas cermin?  SBY melenggang ke manca negara. SBY bercermin diri kepada rakyat yang bukan rakyat-nya. Kepada rakyat bangsa lain. Kepada bangsa yang bukan bangsa-nya. Kepada bangsa-bangsa lain.

Di hadapan cermin itu, SBY masih tampil sangat tampan. Ia tidak hanya masih dipuja sebagai yang biajk. Tetapi juga dipuji sebagai yang terpuji.  Apakah ini yang disebut sebagai politik pencitraan? Bagiku tidak. Bukan untuk itu SBY berdandan. Kehendaknya cuma satu, agar ia diakui sebagai ‘sempurna’ bukan hanya sebagai pribadi biasa, tetapi juga sebagai presiden dan pemimpin sebuah bangsa.

Politik pencintraan hanya pantas dan layak disebut politik encitraan jika seorang pemimpin bercermin pada cermin kesayangannya sendiri. DI hadapan rakyantnya sendiri.  Karena untuk sang pemimpin diakui tampan atau tidak. Tetapi, jika ia bercermin di cermin yang lain, di hadapan bangsa-bangsa yang lain. Itu hanya sekedar pencarian atas pengakuan diri. Tidak lebih. Hanya itu.