Pada medio Agustus 2011, dalam perjalanan wisata dari dan menuju Pulau Rinca-pelabuan perahu motor dan kapal pesiar Labuan Bajo saya mencatat sebuah kalimat yang ‘menarik’ yang selanjutnya  saya pilih menjadi judul tulisan ini: ‘Puki-Puki Yang Terlempar’. Kata-kalimat ini terlontar dari mulut pemilik sekaligus kapten perahu motor berkapasitas lima penumpang orang dewasa yang saya tumpangi. Kata-kalimat ‘menarik’ di atas muncul dalam sebuah peristiwa berikut ini.

Dalam perjalanan pulang dari Pulau Rinca, perahu motor yang kami tumpangi meluangkan sebentar  waktu untuk singgah di pulau Kelor. Sebuah pulau kecil dengan hamparan pasir putih dan pemandangan darat dan bawah laut yang indah.  Bagi kebanyakan pengunjung pulau Rinca dan Komodo, pulau kecil nan teduh itu bukanlah sesuatu yang asing, lantaran hampir pasti dijadikan tempat transit, jika bukan untuk mengambil gambar dan merekam keindahan terumbu karang pada pesisirnya, maka sudah barang tentu untuk berenang dan menyelam.

Pada ketika itu, jumlah pengunjung pulau tersebut terbilang banyak, baik wisatawan asing maupun lokal. Terdapat sebagian kecil pengunjung berenang santai di pesisir yang dangkal, sebagian kecil yang lain berenang dan menyelam, namun ada sebagian besar yang berjemur di hamparan pasir putih. Melihat begitu banyak wisatawan yang berjemur dengan hanya mengenakan pakaian dalam, sebagian yang lain hanya menutupi tubuh dengan kain tipis termasuk di dalamnya adalah wisatawan lokal, lantas, dengan nada canda, walau tampak agak geram sang kapten berujar “Itu lihat sudah, itu, puki-puki terlempar di pasir”.

Sungguh, saya dan rekan-rekan yang lain tertawa terpingkal-pingkal mendengar candaan itu. Sebab jujur saja, secara pribadi, saya tidak siap untuk mendengarnya. Sebab sangkaan saya, semuanya akan dibiarkan begitu saja, dengan hanya mata yang berbicara lantar menafsirkannya dalam diam. Namun, sangkaan itu rupa-rupanya tidak cukup, sehingga kata-kalimat itu harus terlontar.

Saya kemudian berhenti tertawa untuk sementara pada ketika menyusul kata-kalimat yang lain “Kalau bule-bule sih sudah biasa, tapi ini masalahnya adalah orang-orang kita” lanjutnya dengan sedikit geram. Saya mencoba untuk menambahkan sekenanya “Ya juga ya, kita sepertinya ikut-ikutan” sambil tertawa kecil (sungguh saya tidak bisa menahan tawa). “Ya, dong” tutupnya.

Demikianlah kata-kalimat ‘’Puki-Puki Terlempar” sampai terucap. Jauh dari yang tampak vulgar dan terkesan ‘jorok’, sesungguhnya ada sesuatu yang hendak disampaikan sang kapten perahu motor tersebut. Tafsiran saya tentang apa yang hendak disampaikan oleh sang kapten adalah jauh dari sekedar soal ‘Puki’ itu sendiri, yakni soal ‘Identitas’, soal ‘jati diri’ yang dalam keseharian diterjemahkan menjadi kebiasaan dan budaya.

Dalam konteks yang lebih luas perihal pengembangan pariwisata, tidak dapat dipungkiri bahwa bersamaan dengan membanjirnya kunjungan wisatawan asing pada suatu tempat, salah satunya adalah Taman Nasional Komodo, pada saat yang sama turut serta dan dengan sendirinya akan masuk kebiasaan, budaya dan keunikan-keunikan lain yang dalam kaca mata kita tidak pernah kita lihat, mengerti dan pahami. Baik itu sesuatu yang dalam kaca mata kita dianggap sebagai sesuatu yang baik dan pantas untuk diteladani, maupun termasuk hal-hal ‘gila’ yang melanggar norma kebiasaan (seperti membuka baju di tempat umum, mandi dengan hanya mengenakan celana dalam, dst).

Dalam hal ini, kita tidak dapat mempersalahkan para wisatawan asing dengan dunianya. Namun, menurut hemat saya, seharusnya, inilah poin-nya, secara internal-reflektif kita mengevaluasi siapa kita sesungguhnya di tengah gencarnya arus kebebasan, keterbukaan, sebagaimana yang dalam hal tertentu ditampil-hadirkan oleh wisatawan asing dengan ‘tanpa beban’ itu.

Pertanyaan buat kita  semua (tidak hanya kepada wisatawan lokal Indonesia) yang dalam keseharian dan kebiasaan menjunjung tinggi kesantunan dalam segala hal termasuk dalam soal busana dan penampilan adalah apakah kita harus terjerumus dan ikut-ikutan ‘melempar puki-puki kita ke tengah pasir’? Apakah kita harus menggadaikan indentitas dan jati diri kita demi sebuah penamaan semisal ‘agar kelihatan bule’ atau secara lebih luas disebut ‘modern’?

Jabawan tentu saja beragam berangkat dari latar belakang budaya dan kebiasaan pun pemahaman kita siapa kita sesungguhnya sebagai orang Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Sabu Rote. Namun satu yang pasti bahwa indentitas diri, jati diri, identitas budaya tetap harus dipertahankan secara bijaksana dan dalam berbagai cara sekalipun digulung-libas-terpa-hantam arus modernisasi.

Ket. Gambar: Pulau Kelor Labuan Bajo NTT