Pada 2008, nasib-takdir ternyata mengantarkan saya tiba di Meulaboh Aceh Barat. Di ‘bumi’ Teuku Umar Johan Pahlawan itu segala tanya yang pernah terbayang sudah sejak Sekolah Dasar yang selanjutnya (hampir lupa) lantaran mengendap sekian lama dalam benak akhirnya terjawab sudah. “Hmmm…ini toh gadis Aceh. Mengagumkan. Cantiknya gadis Aceh ternyata melampaui dari sekedar cantik secara fisik”

Well…mengapa saya mengatakan ‘Cantiknya Gadis Aceh melampaui dari sekedar cantik secara fisik’ jawabannya tunggal yakni karena mereka mengenakan busana muslim dengan jilbab sebagai ‘mahkota-nya’. Apa yang saya maksud dengan ‘busana Muslim dengan jilbab sebagai mahkotanya’ tidak sekedar sebagai kostum dan asesori pelengkap. Tetapi melampaui dari sekedar soal fisik tersebut, busana muslim merupakan gambaran diri, jadi diri dan identitas diri gadis atau perempuan Aceh.

Inilah cirri corak yang membedakan cantiknya gadis dan atau perempuan Aceh dengan cantiknya gadis atau perempuan lain di seantero Nusantara ini. ‘Cantiknya Gadis Aceh’ tidak hanya lantaran pendaran aura natural yang memang benar-benar cantik, tetapi juga karena dan harus ada aura kultural dan lebih dari itu adalah Islami.

Lantaran itu, saya berani berpendapat bahwa gadis Aceh disebut cantik jika dan hanya jika memenuhi syarat ini: yang beradab (moral cultural) dan berakhlak (moral Islami). Dan untuk itu harus diwujud-nyatakan dengan dan dalam berbusana muslim yang santun dengan jilbab sebagai ‘makhkotanya’. Titik, tanpa itu bagaimana mau membuktikan jati diri dalam praksisnya sebagai sebuah kesaksian?

Saya menekankan aspek di atas sebagai yang penting lantaran Aceh itu unik dan khas. Kekhasan dan keunikan Aceh terletak pada jati dirinya. Berbicara tentang Aceh berarti berbicara tentang Islam, melihat Aceh berarti melihat Islam, demikian sebaliknya. Islam dan ke-Islam-an begitu inkulturatif. Roh masyarakat Aceh adalah Islam. Inilah yang menjadi pembeda bagaimana masyarakat Aceh mengimani Allah dan mengamini Islam sebagai agama-Nya.

Namun kini, ‘Cantiknya Gadis Aceh’ sudah sedang berseteru dengan arus zaman. Di satu sisi arus menarik untuk tetap bertahan-berkiblat pada sejarah dan budaya yang Islami, yang sudah dari ‘sononya’ membentuk dan menjadikan Aceh dengan segala ke-Aceh-annya, namun pada saat yang sama arus ‘pasar’ menawarkan seakbrek pesona. Semakin kencang ‘pasar’ tawarkan pesona, semakin serius ke-Aceh-an dihayati. Berseteru selalu tentu saja tidak mungkin, karena berseteru adalah proses mengalahkan dan dikalahkan. Tentang itu masyarakat Aceh tentu saja tidak mau jika ke-Aceh-an digadaikan oleh pasar.

Lantaran itu, yang pasti adalah penting bagi gadis-gadis dan perempuan Aceh untuk menimbang dan menyari-pati mana nilai-nilai yang tepat benar untuknya sebagai seorang gadis Aceh. Apabila kurang-lebih tidak menyentuh ke-Aceh-an hendaklah tidak ditiru. Karena jika salah meniru, gadis-gadis dan perempuan Aceh tidak lagi disebut ‘Yang Cantik’.

Catatan Pembanding

Kontroversi Putri Indonesia 2009

 

Penobatan Putri Indonesia menimbulkan kontroversi. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Putri Indonesia terpilih, Qory Sandioriva yang dianggap berbohong.

 

Pernyataan kontraversial itu berkaitan dengan pernyataan MC Charles Bonarsirait mengenai pemakaian jilbab yang dilontarkan padanya di atas panggung. Ketika itu Qory menjawab menanggalkan jilbab demi mengikuti kontes Putri Indonesia. Namun usai acara mahasiswi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini sempat meralat pernyataannya.

 

Seperti diketahui di tahun-tahun sebelumnya perwakilan asal Nanggroe Aceh Darussalam selalu memakai jilbab saat mengikuti seleksi Putri Indonesia.

 

Dengan terpilihnya sebagai Putri Indonesia, maka perempuan 18 tahun itu akan mewakili Indonesia di ajang Miss Universe. Mengingat latar belakang Qory, keterwakilannya di kontes kecantikan dunia itu pun dipastikan akan menimbulkan kontroversi.

 

Sumber: http://www.detikhot.com/read/2009/10/12/120030/1219810/445/kontroversi-putri-indonesia-2009

 

Qory Sandiovira Bukan Cerminan Putri Aceh

 

Ulama Aceh merespon secara dingin kemenangan Qory Sandioriva – Wakil dari Propinsi Aceh, yang terpilih menjadi Puteri Indonesia 2009. Mereka menilai kemenangan Qory tak mencerminkan putri Bumi Serambi Mekah yang menerapkan syariat Islam. “Qory bukan cerminan putri Aceh. Untuk itu, ia tidak berhak mengatasnamakan rakyat Aceh. Ini sangat kita sesalkan,” kata Sekretaris Ulama Dayah Aceh (HUDA), Faisal Aly di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Sabtu (10/10), seperti dikutip ANTARA.

 

Faisal menambahkan, Qory tak mewakili Aceh karena belum pernah ada pemilihan Puteri Indonesia di sana. Sikap ini bukan berarti ulama apriori dengan putri Aceh. Hanya saja, menurut Faisal, sebaiknya tak menghilangkan jati diri sebagai putra daerah yang memiliki budaya Islam kuat.

 

Karena itu, Faisal mengimbau kepada para remaja putri agar selalu menjaga budaya Aceh yang kental dengan Islam. “Jangan mudah terpengaruh dengan budaya Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Saya rasa masih banyak cara lain untuk menjadi terkenal dengan tidak mengorbankan budaya daerah dan agama,” ucap Faisal.

 

Pada malam puncak Pemilihan Puteri Indonesia (PPI) 2009 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu malam, Qory mengalahkan dua finalis lainnya. Yakni, Zukhriatul Hafizah dari Sumatra Barat dan Isti Ayu Pratiwi dari Maluku Utara.

 

Sumber: http://www.infogue.com/viewstory/2009/10/11/kontroversi_putri_indonesia_2009_ulama_aceh_qory_bukan_cerminan_putri_aceh/?url=http://www.eriricaldo.com/hot-news/qory-sandiovira-bukan-cerminan-putri-aceh.html