Suara adzan berkumandang, Sarah belum juga beranjak. Sementara senja kian pelan membenam. Rambutnya masih tergerai basah. Pada ujung-ujungnya menetes air mata. Jilbab jingganya,  ia simbakkan. Seakan-akan ingin memaklumkan tentang fajar, tentang pagi yang senantiasa merekah. Ia ingin berteriak, meronta kepada alam. Tetapi tiada jua yang mendengar, selain sepi yang kian menyengat.

Dalam bayangnya berkelebat tentang sebuah heran. Mengapa aku tidak bisa melupakan Azam? Mengapa suara adzan yang dikumandangkannya seperti mengetuk-ngetuk ruang dada? Mengapa wajahnya begitu membekas dalam ingatan? Mengapa senyumnya masih saja seperti menyapa? Mengapa tutur kata lebutnya masih saja menghujam kesendirian?

Sarah melemparkan semua dan segala tanya itu pada alam. kepada bilah-bilah sinar. Mungkin dari kilatan sinarnya menyembul kegembiraan, yang walau entah sesaat. Kepada burung-burung yang kembali darat. Mungkin kepakan sayapnya menetas kesejukan, yang walau entah sebentar. Kepada setengah matahari yang tampak. Mungkin akan melepaskan senyum kenang, yang walau entah tak lama. Tapi, hanya alam dan Tuhan yang tahu, Sarah berpasrah. Sarah tidak menemukan apa-apa, selain rasa yang senyap.

Suara adzan merendah kemudian menghilang. Terkabar pada angin-angin ke langit lepas. Bersama doa-doa segenap ummat. Sarah tak panjatkan doa di senja hari itu. Karena dia yakin, air mata kesetiaannya sudah mengungkakan semuanya. Tuhan Maha Segala, Maha Semua, Maha Tahu. Segala gundah pasti akan terbang bersama adzan ke peraduan-Nya.

Sebelum beranjak dari tepi karang yang indah, kepada jilbab jingga yang setengah basah, yang melintang di pangkuannya, Sarah melepaskan kesahnya “Bagaimana aku bisa membuktikan semuanya. Segala gundah sudah kupanjatkan. Segala rasa sudah kuungkapkan. Kepada-Mu Ya Allah, dalam warna jingga penuh air mata, aku berpasrah…Amin”