Kawan saya bilang, salah satu sebab yang membuat dia suka  dengan media di Indonesia adalah karena cenderung suka pada isu yang sensasional dan mengejutkan. Saya mengejarnya dengan tanya sekedar untuk mengetahui media mana yang dimaksud. Sebab saya tidak percaya semua media melakukan hal itu. Kalau pun reaktif, sikapnya lebih reflektif. Kompas, Tempo dan juga DAAI TV adalah tiga media yang bagi saya bisa menjawab kerinduan public akan sesuatu yang penting.

Namun kawan saya tidak menjawab, dia justru hanya membeberkan contoh-contoh. “Ketika ada berita penyuapan dengan pelaku Anggodo, semua bicara tentang Anggodo, kemudian sepi. Ketika muncul Adidjondro dengan Gurita Cikeas-nya, semua membicarakan tentang binatang. Babi dibawa-bawa. Ketika muncul film mesum Luna Maya-Ariel-Cut Tari, semua membiacarakan itu. Semua membayangkan tentang mesum. Kemudian sepi  lagi”.

“Warga bangsa ini, termasuk saya sepertinya kangen Luna Maya” lanjutnya. “Kangen dengan berita-berita besar, sensasional, tidak penting, kalau pun ada yang substansial, itu pun tidak menjawab rasa ingin tahu public..semuanya bombastis…media itu membuat berita jadi serperti arwah penasaran” bibirnya menyong, sinis.

Tidak salah memang, jika kawan saya punya rasa itu atas media. Karena memang faktanya demikian. Dia dan juga kita sebagian dari warga Negara Indonesia, seperti selalu menunggu sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang heboh, walau sebenarnya tidak menjawab kebutuhan public untuk mengetahui sesuatu yang penting tentang Indonesia.

Tidak salah juga, jika media di Indonesia baik televisi, majalah maupun surat kabar pandai dan mampu membaca kecenderungan psikologi public. Bahwa warga bangsa ini sudah sedang haus berita, selalu ingin tahu akan sesuatu yang baru. Namun sayang, maaf…bukan berita penting, tetapi berita heboh. Di hadapan public kehebohan itu lantas menjadi penting. Sehingga yang sesungguhnya penting, justru tenggelam dan lenyap.

Sebagai misal: Isu dan berita tentang pelanggaran hak asasi manusia, tentang pendidikan di desa tertinggal, tentang lingkungan alam (potensi atas hutan yang luas), tentang laut (sebagai negara maritim), tentang toleransi kehidupan beragama (agama yang majemuk), tentang potensi budaya local (dimana kita kaya akan keanekaragaman budaya). Sederatan berita tentang ini nyaris tidak menjadi buah bibir.

Pembaca surat kabar dan penonton telivisi lantas terjebak dalam kecenderungan ini. Tidak hanya itu, justru didewasakan dengan berita ‘sampah’ dan lantas menganggapnya sebagai penting. Penting dan perlu untuk disimak dan diceritakan di warung-warung kopi dengan lebih bombastis dan terkesan mengada-ada.

“Kangen Luna maya” seperti yang dengan sinis ‘dirindukan’ kawan saya adalah dampak negatip dari kecenderungan ini. Bahwa sebagian dari kita selalu menunggu media menurunkan berita heboh. Dan sementara menunggu, media mungkin saja sedang memburu berita-berita itu. Kita tunggu saja…dan anggaplah semua berita penting adalah sampah, dan yang sampah adalah penting.

Pertanyaan kita adalah siapa yang salah? Media atau pembaca dan penonton media? Sudah barang tentu yang membuat salah paling besar adalah media, dan hanya sekian persen adalah tanggungjawab public. Alasannya sederhana, media tidak tampil cerdas walau sebenarnya yang mengelolahnya adalah kumpulan orang-orang cerdas. Visi kepeduliaan sebagai media pendidikan public-nya dikalahkan oleh rating dan jumlah oplah yang terjual. Sementara itu, public pun tidak selektif dalam menyimak berita. Justru sebaliknya ikut nimbrung dalam berita ‘sampah’.

Namun demikian, ‘kesalahan’ public agak bisa dimaklumi, lantaran tidak semunya sadar tentang itu. Dan tentang ‘ketidaksadaran’ itulah yang seharusnya menjadi peran dan tanggung jawab media. Bukan sebaliknya membuat semakin ‘tidak sadar’