Aku menyaksikan empat kematian yang berbeda di empat tempat berbeda dengan tingkat ketragisannya masing-masing. Semuanya terjadi di awal tahun ini. Membayangkan kematian itu, menggetarkan aku. Mengapa tidak. Semuanya mati dengan cara yang hampir tidak dimengerti. Tidak dapat dibayangkan. Tidak dapat diprediksi. Serupa itukah kematian?
Kematian yang satu dihantam gelombang. Tubuhnya terjebak di antara karang. Sebagian tubuhnya adalah air. Di atas puing-puing yang ia duduki sebelum ia pergi, jazadnya dikuburkan tanpa nisan. Mungkin dalam sepinya ia memanggil, tapi tidak seorang pun yang peduli. Kematian tanpa air mata. Hanya ada kerinduan yang sekejap. Sedangkal itukah kehidupan?
Kematian yang kedua adalah yang terjatuh dari pegangan, dari ketinggian yang tidak seberapa. Tapi pijakan-pijakan sepatu yang mengenainya, membuat tengkoraknya retak, sebelah matanya pecah. Pupil dan kornea menyatu, tidak ada hitam dan tidak ada putih. Kelam. Kehidupan dan hidup itu sendiri adalah alibi. Kecerobohan dan ketidakhati-hatian telah membuat kehidupan yang lain tewas. Sejahat itukah kehidupan?
Jika kematian adalah pilihan yang lazim dimaklumi maka lebih baik mati, ketimbang harus membayangi kematian yang berkelebat kemudian pergi
Kematian yang ketiga adalah karena tidakpedulian. Di antara lalapan panas api dia berteriak minta dikasihani. Dia berontak melawan panas. Setengah tubuhnya kian gosong. Sendi-sendinya terlepas perlahan. Bau kelam. Bau darah. Bau tubuh. Semuanya menyatu lebur dalam hangus. Kematian serupa itu sungguh tragis. Dan lebih tragis adalah ketika mereka yang menyaksikan kematian serupa itu tidak peduli. Mereka hanya dapat berteriak dan memotret dengan mata-mata mereka. Selebihnya hanya sisahkan kisah ‘kasihan ya!’. Setidakpeduli itukah kehidupan?
Kematian keempat adalah kematian yang membuatku harus gugurkan air mata. Dia adalah sahabatku juga saudaraku. Sebentar ia terjebak di relung air, sudah itu mati. Sunggah kematian yang cepat. Kematian di tangan arus air yang lebut. Sungguh sangat tidak masuk akal. Kematian yang sulit untuk lupa. Bukan hanya tentang kematian itu sendiri, tetapi juga peristiwa kematian itu. Serupa itukah kehidupan? Begitu cepat berlalu, begitu cepat berpisah. Perjumpaan demi perjumpaan yang sudah kian lama terbangun serupa sarang semut. Rapuh. Runtuh. Pergi.
Empat kematian yang membuatku tidak habis merenungi diri. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Menyaksikan kematian serupa itu sungguh sangat membebani diri. Jika kematian adalah pilihan yang lazim dimaklumi maka lebih baik mati, ketimbang harus membayangi kematian yang berkelebat kemudian pergi. Ya Allah…
3 responses to “Empat Kematian”
mosadaki
Februari 2nd, 2011 pukul 12:03
kematian bukanlah sebuah tragedi. dia kan menjemput semua yang bernyawa… dengan cara dan temapt yang berbeda…
SukaSuka
Tanagekeo
Februari 4th, 2011 pukul 09:28
Manusia terjebak dalam keadaan tanpa pilihan seperti semua ciptaan Tuhan. Tak ada orang yang bisa memilih ayah dan ibunya dan semua kondisi awal mula hidupnya.
Hanya sedikit manusia memilih cara dan saat ajalnya, ketika dunia dan sesama tidak lagi bermakna. Kematian bukan sebuah pihan. Kematian sesuatu yang tak terelakkan….Manusia memang terdepak dan terjebak.. Mata re’e.
SukaSuka
Hayden Owen
November 15th, 2012 pukul 13:19
Takut euy mau denger yang jelekjelek, takut seremâ ditingkahi tawa bersahutsahutan penonton yang menyaksikan secara langsung.
SukaSuka