Aku tidak pernah membayangkan kalau suatu saat aku akan tiba di sebuah kampung kecil di Nita Maumere yang bernama Rohot. Sebuah kampung dengan sedikit rumah yang terletak di bukit kecil. Sebuah kampung yang bagai tidak berpenghuni, sepi, tetapi pada sebaris-deret kubur tua di kampung berundak itu jelas tampak kehidupan yang nyaman dan tenteram. Ya, sekurang-kurangnya pada nyala lilin di puncak nisan yang memendar bagai senja ketika itu terlukis sebuah harmoni. Paduan akrab kehidupan.

Di Rohot itulah aku merekam tentang siapakah sesungguhnya perempuan Sikka-Lela. Tentang martabat dan derajatnya. Seorang lelaki paruh baya dengan wajah selalu dibalut senyum mengisahkan tentang semuanya. Aku mencatat dua penggal kalimat yang hingga kini masih tersimpan dalam catatan yang nyaris kusam. Dan menurutku dua penggalan kalimat ini sudah sangat lazim diungkap-tutur-wariskan dalam keseharian masyarakat Sikka-Lela.

Penggalan pertama adalah “Du’a naha nora ling, nora weling, Loning dua utang ling labu weling. Dadi ata lai naha letto wotter Kalimat bahasa Sikka ini artinya kurang lebih demikian: Setiap wanita mempunyai nilai, mempunyai harga, sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap lelaki harus membayar.

Penggalan kalimat obrolan lain yang sempat terekam adalah “Ine io me tondo, Ame io paga saga, Ine io kando naggo, Ame io pake pawe” yang artinya kurang lebih “Ibulah yang memelihara dan membesarkannya. Ayah yang menjaga dan mendewasakannya. Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan. Ayah memberikannya sandang”

Dua penggalan kalimat di atas menurutku merangkum-ringkas tentang martabat gadis Sikka-Lela di mata masyarakat. Melampaui dari sekedar perempuan itu harus dihargai dan dihormati karena tamparan kelam yang dialami kaum perempuan di tengah kepungan feodalistis-paternalistis sejarah Sikka-Lela, sesungguhnya perempuan itu pada dirinya sendiri adalah bermartabat. Perempuan tidak hanya bermartabat karena sekedar sebagai makhluk Tuhan, tetapi juga makhluk Tuhan yang sama, yang bernama perempuan itu, memiliki peran vital dalam tubuh social dan kehidupan.

Salah satu fakta yang mencerminkan bahwa perempuan Sikka-Lela bermartabat dan berharga dalam kehidupan social adalah melalui dan dalam belis yang mencengangkan. Catatan ringkas tentang belis di Sikka-Lela biasa seorang gadis dibelis dalam enam bagian yakni Kila, belis cicin kawin; djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal (termasuk gading gajah); inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta). Fakta ini tentu saja membuat sebagian orang yang baru mendengarnya tidak masuk akal, lantaran dua hal, yakni di Flores tidak terdapat gajah lantas mengapa harus membelis dengan gading gajah? Selanjutnya adalah pertanyaan terkejut yang sering muncul ‘Koq perempuan seperti ditukar dengan harta?”.

Namun jika merunut pada sejarahnya kita (baru) menjadi tahu dan bahkan selanjutnya memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai. Perempuan pantas untuk ditempatkan pada tempat yang bermartabat dalam kehidupan social, sebagaimana halnya kita menghargai kaum yang bernama laki-laki.

Mendengar, merekam dalam catatan semua kisah tentang perempuan Sikka-Lela aku menjadi sadar sungguh bahwa pada setiap tempat, daerah atau wilayah tertentu terdapat peristiwa dan atau momen yang melahirkan refleksi tentang kehidupan yang bermartabat. Tidak hanya tentang penghargaan dan menghargai perempuan, tetapi lebih dari itu adalah menghargai kehidupan. Bahwa sesungguhnya kehidupan itu bermartabat.