Gambar

Seharusnya tidak ada rahasia di Kotak Suara, karena dia tidak pernah berdusta. Kan, kita dapat melihat, pun mendengar kertas-kertas suara itu berbicara-cerita tentang demokrasi. Berbicara-cerita tentang kepada siapa mereka serahkan mandat dan titahkan amanah. Berbicara-cerita tentang kedaulatan rakyat yang ditanggap oleh orang-orang yang dipercaya. Singkatnya, dalam dan melalui Kotak Suara kita dapat mendengar puncak pergulatan kehidupan politik formal seorang warga negara disampaikan dengan jujur dan bebas, sekaligus pada saat yang sama melihat hati nurani berdenyut. Jantung keyakinan akan kebutuhan berdemokrasi itu hidup, berjejak dan berkembang.

Kotak Suara itu Kotak Kaca

Guipavas, sebuah kota kecil di Finistere Prancis. Ketika itu, Minggu, 23 Maret 2014, awal musim semi yang datang lebih cepat dari biasanya. Di sebuah gedung sekolah yang baru tuntas direnovasi, saya mengamati proses pemilihan umum Wali Kota tahap pertama yang serentak diselenggarakan di negara terbesar Uni Eropa itu. Tiga bilik suara bertirai biru dimasuki satu demi satu. Di sana mereka tidak mencoblos atau mencontreng. Mereka memilih wakilnya kemudian memasukkannya ke dalam amplop. Terlalu sayang untuk dicoret dan atau dipaku nama pilihan mereka.

Selanjutnya, di dalam kotak suara yang terbuat dari kaca, saya bisa melihat dengan terang surat suara dilepas. Sepi. Tidak ada polisi yang mengitarinya. Tidak ada tinta di ujung kelingking mereka. Jari-jari mereka bersatu menggenggam pena membubuhkan tanda tangan. Tahap akhir dari sebuah proses pemilihan, sekaligus menegaskan kepada kepada publik melalui petugas/panitia pemilihan bahwa mereka adalah warga negara berdaulat. Namun, jauh dari yang dikira sepi. Sesungguhnya, proses pemilihan umum di Prancis pada umumnya, sebagaimana yang tersaji di hadapan saya pada ketika itu adalah sebuah revolusi. Sebab ternyata suara-suara dalam kotak suara itu sudah sedang bersuara kencang tentang perubahan.

“Saya memilih Catherine Guyader, dia perempuan yang baik” Kata salah seorang perempuan “Saya tidak memilih wali kota yang sekarang, Alain Queffelec, lihat itu di sekitarmu, di tengah situasi ekonomi kota yang sedang parah, dia justru merenovasi sekolah ini dengan dana milyaran rupiah” lanjutnya. Seorang laki-laki separuh baya, lain cerita. Sehari sebelum melakukan pemilihan komunal dia sudah mengatakan kepada saya melalui surat suara yang sudah dibagikan dua hari menjelang pemilu bahwa dia memilih Guvran Moal. Dan ceritanya itu benar, di hari pemilihan, Guvran Moal dimasukkannya dalam kotak suara. “Partai yang berkuasa perlu diberi pelajaran” ceplosnya.

Suara itu tidak hanya mengepak-ngepak dalam kotak kaca dan terdengar memendar hingg ke dinding ruang kelas, tetapi juga jelas terbaca di dalam kotak suara sepanjang Guipavas di ujung paling Barat sampai ke jantung Prancis, Paris. Dari dan dalam kotak suara itu sayup terdengar, rakyat Prancis sudah sedang bercerita tentang kemelut kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang sudah sedang mereka hadapi. Angka pengangguran yang tinggi, migran yang tak teratasi, jaminan sosial yang rendah, dan kebijakan publik yang tidak terlibat dan melibatkan diri ditumpahkan pada ketika itu.

Lantaran itu, menilik lebih jauh dan dalam perihal apa yang terdapat dalam kotak suara, sebenarnya mereka tidak sedang memilih siapa, tetapi mereka sudah sedang layangkan revolusi untuk yang ke sekian. Di sana mereka melakukan penghakiman. Dan suara-suara di kotak suara itu tidak berdusta. Faktanya, seminggu setelah gembok kotak suara itu dibuka, jutaan suara tumpah teriak mengambrukkan partai berkuasa. Partai Sosialis dengan presidennya Francois Holande yang sudah dua tahun berkuasa kalah telak.

Partai Oposisi, Partai Konservatif UMP yang sebelumnya sudah diprediksi menjadi gudang suara akhirnya memenangkan mayoritas di 135 kota, sedang Partai Ultra Kanan Front Nasional merebut di 11 kota. Demi menenangkan suasana politik yang sebenarnya sudah bisa diduga, sekaligus berusaha untuk mengembalikan kepercayaan massa-rakyat, Holande dengan sigap merombak kabinet dengan hanya terdiri dari 16 menteri dari total 33 menteri sebelumnya. Selanjutnya dengan jiwa besar sang presiden membiarkan perdana menterinya, Jean Marc Ayrault mengundurkan diri.

“Sangat buruk dan sangat menyakitkan” keluh-renung Najat Vallaud-Belkacem, Juru bicara Pemerintah. Mengapa tidak dan – bagi saya – seharusnya dia tidak perlu mengatakan itu jika Holande mau berkaca pada pengalaman penghakiman Kotak Suara dua tahun sebelumnya. Dimana pada ketika itu, 2012, kepercayaan rakyat kepada Nicolas Sarkozy pun ambruk di Kotak Suara.

Semua orang bisa melihatnya, termasuk saya, dari Kotak Suara yang terbuat dari kaca. Semua orang bisa mendengarnya, termasuk saya ketika gembok Kotak Kaca itu dibuka. Tetapi ini terjadi di Prancis, segala soal dituntaskan di dan dalam Kotak Suara, dan dari Kotak Suara pula setiap era kepemimpinan meraka dimulai. Walau sangat buruk dan menyakitkan, tetapi proses berdemokrasi tidak mencederai apalagi sampai harus membuat Kotak Suara berkata dusta atas hati nurani rakyat.

Kisah Kotak Suara Kita

Lain cerita di Indonesia, sebelum Pemilu digelar, ratusan Kotak Suara di Padang misalnya ditemukan rusak. Segel dan gemboknya terkelupas-raib. Hal yang sama terjadi di Papua, Kotak Suara diberitakan raib. Di sebagian kota dan desa lain di Indonesia, Kotak Suara sudah rusak sebelum hari pemilihan umum. Mengapa tidak, Kotak Suara yang terbuat dari kardus bukan tidak mungkin rentan dikoyak basah atau penyok ditindas beban. Ini sebagian kisah tentang Kotak Suara yang belum bersuara sebelum seharusnya dia difungsikan. Dari dan dalam hal yang paling teknis seperti ini saja, tampaknya kita tidak pernah menghargai suara kita sendiri. Tidak pernah mau peduli dengan suara hati nurani kita sendiri.

Jauh lebih mengerikan jika menderet kisah perihal Kotak Suara yang diajak berdusta. Sebagai misal, saya mengangkat dua kisah. Pukul 23.00, 8 April 2014, di Sugihan, Desa Pojok, Kecamatan Garun, Kabupaten Blitar sehari sebelum Pemilu Legislatif digelar, ditemukan di belakang bilik pencoblosan Tempat Pemungutan Suara (TPS) 19, dua kotak suara yang masing-masing berisi 55 suara yang sudah dicoblos atas nama Nova Riyanti Yusuf (Partai Nasdem untuk DPR Pusat) dan Retna Wizi Suci (Partai Gerindra untuk DPRD Blitar). Hal yang sama terjadi Di KPPS Nias Selatan, Sumatera Utara, pada hari ketika Pemilu berlangsung dalam kotak suara ditemukan 112 surat suara yang sudah dicoblos dengan sengaja oleh pegawai KPPS (Tempo.com edisi 9 April 2014).

Dua kejadian di atas bersuara-cerita tentang hancurnya Kotak Suara secara substansial. Di Indonesia, Kotak Suara jauh melampaui dari sekedar kotak pandora. Dia Sakral. Lantaran, dia menyimpan suara rakyat yang adalah juga suara Tuhan. Pun apalagi telah melewati proses yang di sebut jurdil (jujur dan adil). Dan proses untuk itu serupa doa. Dalam titik itu, proses berdemokrasi di Indonesia sesungguhnya sulit dibedah publik. Senyap. Jika tidak berlari di awang idealisme politik yang tak terjamah, bisa jadi terlalu dalam mengendap di bawah nalar politik yang sulit untuk dikata.

Pada titik itu, pemilu sebagai salah satu proses berdemokrasi di Indonesia tidak dapat dielak menjadi ‘dosa’. Di antara yang tak terkatakan, (dan atau sulit untuk dikatakan) biasanya kata-bahasa politik hanya bergerak di antara dua kutub yang antara keduanya tidak saling jumpa, yakni di satu sisi adalah gumam dan atau bisik dan yang lain adalah janji dan atau harap. Bagi saya proses politik serupa ini tunalaras. Cacat suara dan nada. Dan di Indonesia Kotak Suara adalah kotak yang berisikan kacacatan itu.

Kotak Suara serupa itu biasanya berdusta. Lantaran tidak menyuarakan hati nurani, tetapi suara-suara muslihat. Suara-suara penuh tipu daya. Suara-suara yang tidak menyuarakan kebutuhan-kebutuhan akan perubahan dalam dan melalui wakil-wakil yang dipercaya, tetapi sebaliknya adalah suara-suara yang berisikan kepentingan-kepentingan sesaat yang dimanipulasi oleh petugas dan calon wakil rakyat yang gila kuasa dan harta.

Di Indonesia, Kotak Suara pada pemilu legislatif 2014 yang digelar pada 9 April seharusnya menjadi kotak penghakiman bagi para wakil rakyat yang bukan hanya tidak berkualitas secara intelektual, tetapi juga sarat kepentingan sehingga membuat mereka tidak berjejak menjawab kebutuhan rakyat. Pada saat yang sama, munculnya Jokowi, Gubernur DKI Jakarta sekaligus calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai parameter aktor dan tokoh politik yang dipercaya membuat rakyat menjadi kian yakin pada pilihannya masing-masing.

Di satu sisi, jauh sebelum pemilu legislatif digelar, peta demokrasi Indonesia tampaknya sudah menemukan titik terang. Bahwa dari dan melalui Kotak Suara, akan muncul wakil-wakil rakyat yang bisa menjawab kebutuhan kongkret rakyatnya. Lantaran di sisi yang lain para wakil rakyat yang sudah sedang berkuasa mulai dari daerah sampai pusat pun banyak yang tersandung kasus korupsi dan sederetan soal lain. Partai-partai politik koalisi yang sudah sedang berkuasa pun ambruk lantaran tidak mengaktualisasikan janji-janji politik yang sudah digariskan.

Jadi, bukan mustahil jika dalam dan melalui Kotak Suara, rakyat seharusnya akan memberi penghakiman politik. Selanjutnya, memendarkan harapan-harapan baru akan perubahan politik ke arah yang lebih baik. Diharapkan pula, dalam dan melalui Kotak Suara arah demokrasi Indonesia kembali ditata, lantaran akan lahir wakil-wakil rakyat yang memiliki integritas dan kapabilitas. Kembali lagi, salah satu faktornya adalah Jokowi. Jokowi effect tidak dapat dihindari telah menjadi wacana publik bukan hanya pada cita-cita akan wajah baru demokrasi, tetapi juga pada wajah Indonesia baru dalam segala aspek kehidupan sosial masyarakat.

Namun apa yang terjadi, realitas politik pada praktik pemilu legislatif yang baru saja digelar berkata lain. Calon-calon wakil rakyat yang diidealkan justru tidak berbicara banyak, bahkan terpental keluar dari Kotak Suara. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dengan Jokowi-nya pun hanya mencapai belasan persen suara dari target 27% suara yang diharapkan. Soalnya adalah demokrasi Indonesia masih terjebak dalam kebiasaan money politics yang akhirnya mencederai simbol hati nurani publik yang bernama Kotak Suara. Kisah-kisah di awal catatan ini, seperti yang terjadi di Padang, Papua, Blitar, Nias Selatan dan masih banyak tempat lain di Indonesia dengan terang benderang menjelaskan perihal itu.

Berkaca dari Kotak Kaca

Banyak kalangan memaparkan argumentasi, lebih-lebih para pakar dan politisi, bahwa situasi politik yang sudah sedang mendera Indonesia adalah lantaran Indonesia sudah sedang belajar berdemokrasi. Apalagi untuk konteks Indonesia belajar berdemokrasi butuh waktu yang panjang dan bahkan tidak mudah. Latar sejarah, keberagaman suku dan budaya, tingkat pendidikan dan jenjang sosial bahkan keanekaan agama dan keyakinan menjadi alasan penegas yang lain untuk itu.

Namun, hemat saya, argumentasi di atas dan sederetan alasan yang dilontarkan dengan payung bahwa kita sedang belajar berdemokrasi adalah argumentasi yang bukan hanya keliru, tetapi konyol. Sebuah pemakluman yang tampaknya tidak sehat bahkan mencederai hakikat demokrasi itu sendiri.

Benar bahwa demokrasi bukan satu-satunya sistem politik yang tidak tanpa cacat, tetapi dari semua sistem politik yang ada dan menyebar-akar dalam peradaban sejarah bangsa-bangsa, demokrasi ternyata bisa membawa dirinya dan bahkan keluar sebagai yang baik. Lantaran demokrasi bisa dan bahkan selalu memperbaiki dirinya sendiri. Dia adalah satu-satunya sistem politik yang mungkin untuk beradaptatif dalam situasi apa pun. Demokrasi adalah sistem politik yang mau bergulat dengan situasi dan kondisi apapun.

Dan untuk itu, demokrasi tidak pernah mati. Dia akan selalu tumbuh dan berkembang karena kesanggupannya untuk belajar dari kecacatan-kecacatan yang mencederainya dan bahkan yang dibuatnya sendiri karena kemandekan proses pergulatannya. Dalam konteks Indonesia, proses pematangan demokrasi dan cara berdemokrasi menemukan soalnya. Bahwa sebagai bangsa, mulai dari rakyat-warga sampai elite politiknya tidak pernah mau belajar berproses. Tidak pernah mau belajar mengalami hakikat demokrasi yang sesungguhnya sepanjang rentang perjalanan kehidupan sebagai sebuah negara bangsa. Rupa-rupanya sebagai sebuah negara bangsa kita masih terjebak dalam persoalan demokrasi sekedar sebagai jargon, yang asing, dan ata yang lain.

Faktanya, kita masih saja jatuh pada lubang yang sama, yakni pada pragmatisme politik, politik demokrasi prosedural, dan sederetan soal remeh temeh lainya termasuk sampai kaderisasi aktor partai politik yang tidak becus alias asal pasang-tempal. Dan money politics yang kembali muncul pada pemilu legislatif kali ini, pun koalisi politik dagang-sapi yang sudah sedang dipersiapkan menuju pemilu presiden Juni tahun ini adalah deretan akibat yang menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak pernah mau melihat indonesia dengan hati nurani, apalagi membangungnya dengan budi pekerti.

Dan perihal itu. Perihal hati nurani yang tidak pernah mau mengaku dosa walau secara sadar berbuat salah, biasanya terbaca dari Kotak Suara yang mudah rusak, bisa dimanupilasi dan itu sudah barang tentu diselimut dusta. Mungkin tidak harus kita mengganti kotak suara kita dengan kotak kaca. Namun demikian, dari pengalaman seharusnya kita mampu untuk berkaca dari masa ke masa.

Catatan: Foto Kompas