‘Terima Kasih’ dalam bentuk apa pun, lebih-lebih secara material berupa ‘amplop’ adalah musuh utama seorang pencari-pewarta berita atau jurnalis. Terlepas dari adanya undang-undang pers dan atau etika jurnalistik yang melarangnya karena akan berakibat buruk pada independensi, keberimbangan dan ketidakberpihakan, sesungguhnya melampaui semuanya itu adalah soal jati diri. Bahwa hadiah terindah dari, oleh dan untuk seorang jurnalis atau pencari-pewarta berita adalah pada benih kejujuran yang ditaburkannya.

Penafsiran pasal 1 Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers menegaskan jati diri seorang pencari-pewarta berita atau jurnalis. Yakni, Pertama, Independen. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Kedua, akurat. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Ketiga, berimbang. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Keempat, tidak beritikad buruk. Itu artinya tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Inilah jati diri seorang pencari-pewarta berita atau jurnalis. Jati diri yang mencerminkan bahwa sesungguhnya menjadi seorang pencari-pewarta berita atau jurnalis adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Mengapa? Pertama-tama tentu saja ia melihat dan ‘memungut’ fakta atau peristiwa dengan hati nurani. Artinya tidak hanya perihal kebenaran yang dikedepankan tetapi juga ada kerelaan yang tulus untuk mengabaian ketenaran dan popularitas .

Pencari-pewarta berita atau jurnalis yang melihat semua fakta dengan hati nurani niscaya akan menghasilkan kemasan berita yang akurat dan dapat dipercaya. Selanjutnya, warta dan atau berita sekecil apa pun itu ketika hadir di tengah massa (pembaca dan atau penonton) tidak akan menimbulkan pertentangan dan atau konflik. Tetapi sebaliknya, melahirkan refleksi dan evaluasi secara untuk perbaikan dan perubahan yang lebih besar. Yakni transformasi sosial.

Catatan sederhana ini tidak bermaksud untuk memberi koreksi pada ketidakbecusan para pencari-pewarta berita atau jurnalis. Pun apalagi dimaksudkan untuk menggurui. Catatan sedernaha ini hanya merupakan sebuah refleksi atas pengalaman personal saya, setelah sekian tahun bergelut-gulat dengan hamalan blog pribadi dan halaman media jurnalisme public yang lain. Kendatipun saya bukan seorang pencari-pewarta berita professional, saya menyadari sungguh bahwa menjadi seorang jurnalis baik jurnalis professional maupun jurnalis public seperti saya adalah juga pekerjaan yang mulia, karena sesungguhnya etika jurnalistik dan undang-undang persnya adalah hati nurani dan kebenaran.

Catatan: Tulisan ini sebelumnya sudah diposting di Kompasiana. Saya sertakan dua tanggapan Kompasianer di bawah ini:

Tanggapan Tulisan

Katedra Rajawen

setuju, tetapi hati nurani seringkali harus dikalahkan oleh materi. Bila hati nurani yang dapat menjadi pegangan sebenarnya akan melahirkan sesuatu yang lebih indah. Namun ada berapa yang dapat bertahan dalam sejatinya nurani??

Kris Bheda Somerpes

Sepakat dengan Bung Katedra, bahwa hati nurani dapat salah, dan lantaran itu ‘metanoia’ harus selalu dilakukan secara berulang dan terus menerus.

Didik Purwanto

Sy tdk sependapatan jk menulis berdasarkan hati nurani. Krn kl berdasarkan hati nurani mnjd subyektif. Pdhl berita hrs ditulis scr obyektif (dan hrs cover both side/tdk memihak/memberikan fakta dari 2 sisi). Memang yg trjd di media massa saat ini sulit dibedakan antara obyektif dan subyektif krn biasanya jg hrs mementingkan kepentingan pemilik media. Intinya, jurnalistik ke dpn tdk hanya dikontribusikan dr jurnalis. Tp masyarakat biasa pun kini sdh bs mnjd jurnalis melalui jurnalisme warga (yg sebenarnya malah tanpa kepentingan penguasa). Itu bs dibuktikan dr media jejaring sosial yg marak dan digandrungi masyarakat. Slmt mnjd Netizen..!!

Kris Bheda Somerpes

Bung Didik, thanks atas komentarnya, masukan yang menarik dan cerdas. Yang maksud dengan bertumpu pada hati nurani bukan sebagai tindakan subjektif dalam aksi, tetapi lebih sebagai ‘kaca mata’ sekaligus penuntun, selanjutnya saya mengikutsertakan pula kebenaran, itu artinya berdasarkan fakta dan ditulis secara obyektif.