Tidak seperti  hari-hari kemarin, yang pada setiap datang pagi menggelantung beban di bibirnya. Selalu menopang mendung di kedua bola matanya. Bahkan kadang jatuh air mata. Menyepi dan menyendiri di sudut perpustakaan yang sepi. Bukan untuk membaca, tetapi merenung tentang sesuatu yang tidak menentu. Sesuatu yang selalu membuatnya cemas.

Namun, pagi itu wajah Sarah cerah ceria. Ia bangun lebih awal, segala keperluan kuliah pun ia persiapkan dengan cepat. Ke kampus pun ia berangkat lebih awal.  Tak lagi menyudut di sudut ruang buku. Tak lagi merenung dan membuat puisi. Coretan-coretannya yang penuh umpat seperti lenyap. Ia menulis puisi dengan lepas. Sangat indah.

Wajahnya yang berpendaran bias ceria tak dia sembunyikan. Ia terbitkan dengan sengaja. Seperti hendak menunjukkan kepada alam, bahwa ia tidak tunduk di bawah duka dan air mata. Di bawah rindang  cemara, pada taman depan perpustakaan ia diam melumat kata dari Rubaiyat Umar Khayam.

Perubahan itu tentu saja mengejutkan  Dinda dan Dewi. Dua sahabat setianya.

“Hy…hy…Sar, mimpi apa kamu semalam.  Tidak seperti biasanya, wajah kamu sebegitu cerah pagi ini. Jangan-jangan mimpi bertemu pangeran,  kemudian berkenalan, berjalan berdua, dan ah………..”  Dinda yang spontan, datang mendekat sambil melepas duga dengan ceplas-ceplos bertubi-tubi.

Seperti biasa ia selalu melepas kata dengan  penuh semangat, tanpa melupakan ekspresi teatrikalnya. Namun, gurat wajahnya yang heran tidak dapat disembunyikan.

“Wow….apa yang membuatmu tiba-tiba berubah Sar…..pagi ini kau tampak lebih cerah dari biasanya, lebih cantik dan nyaris sempurna”  Dody muncul tiba-tiba. Melepas pujian itu kemudian menghilang di balik pintu perpustakaan.

“Sst….brisik, pagi-pagi dah gombal…pergi sana!” Dody mengangkat kedua tangganya. Mulutnya dikatup rapat. Diam. Kemudian menghilang. Dinda membentaknya.

Dewi yang sedari awal tak mengeluarkan kata. Sepergi ragu mencoba menyapa.

“Sar…” Dewi  ingin tahu.

“Ya..” Sarah menjawab sambil melepas senyum.

“Bolehkah Sar menceritakan kepada kami, tentang apa yang membuar Sar bahagia. Apa yang membuat Sar tiba-tiba berubah?” Dewi meminta.

Sarah hanya tersenyum. Dia menatap wajah dua sahabatnya yang mematung bagai boneka dengan saksama. Sarah yakin, kehadirannya yang lebih ceriah dan penampilannya yang berbeda akan membuat kepanikan di antara sahabatnya. Sahabat-sahabatnya pasti akan bertanya-tanya.

Dengan gaya yang sama, penuh ekspresi dengan gerakan teatrikalnya yang kadang-kadang membuat tempat apa pun berubah jadi panggung pementasan, Dinda kembali melepas tanya “Kemarin, dan kemarin-kemarin di sini, di tempat ini kau melepas tubuhmu yang lelah…kau menyiram semua cerita dengan air mata. Kau memupukinya dengan duka…tetapi pagi ini….ya pagi ini, kau mengenanakan jilbab jingga, melepas senyum tampa lelah, membaca Rubaiyat…ada apa gerangan?”

“Ya..ya..sebenarnya ada mimpi apa kamu semalam Sar” Dewi menimpal penuh tanda tanya.

Sarah kembali membalas dengan senyum. Tiba-tiba ia membuka suara. Dari kedua belah bibirnya meluncur sekuplet sajak dari Umar Khayam yang dibacanya dari Rubaiyat:

“Bangkitlah dan tinggalkan sesal dunia yang telah lalu,

Bergiranglah, dan biarkan dalam kegembiraan saat berlalu,

Jika watak dunia punya sesayup kesetiaan,

Giliranmu takkan datang samasekali, seperti yang lazim berlaku”

Dewi dan Dinda ternganga. Kata-kata Sarah  membuat dahi keduanya bergelombang. Tetapi Sarah tetap tenang. Sarah sadar betul. Ia tak akan menceritakan keindahan mimpinya semalam. Karena itu adalah pengalamannya yang terindah. Kepada sahabatnya, Dinda dan Dewi, ia cukup memberikan maknanya. Bahwa cinta itu sejatinya indah. Sangat indah, walau harus dilalui dengan luka.

Sarah melanjutkan sekuplet dari Umar Khayam:

“Mari kawan, mari kita lepaskan kesedihan esok hari,

Dan tangkap kesempatan hidup saat ini; esok, penginapan kuno ini

Bakal ditinggalkan, dan kita akan sama dengan mereka yang lahir tujuh ribu tahun yang silam di sini”

Dewi dan Dinda mengangguk. Seperti memahami maksud Sarah keduanya saling pandang dan mengangguk. Sarah memperhatikan tingkah sahabatnya dengan Senyum. Sarah tahu betul keduanya sahabatnya mengangguk tidak tahu. Tapi Sarah membiarkan itu.

“Sar…sebenarnya apa yang kau bicarakan?” Dewi ingin tahu

“Sar…apakah Sar tidak sedang bermimpi…atau tidak sedang mati suri…atau tidak sedang mengigau?”

Sarah tersenyum. Hanya itu. Kemudian ketiganya larut dalam sepi. Dinda dan Dewi memperhatikan Sarah dengan saksama. Memperhatikan Rubaiyat Umar Khayam yang bersampul senja. Keduanya bingung  tidak kepalang. Ingin meminta dari Sarah untuk membaca walau sepenggal. Tapi keduanya tidak sempat. Sarah pergi meninggalkan mereka menuju perpustakaan

Dewi dan Dinda menggeleng-gelengkan kepala. Menyusul Sarah menuju perpustakaan dengan menggelantung sejuta tanya. Entah.