Saya tidak tahu persis berapa jumlah orang katolik di Nanggoroe Aceh Darusallam. Di Meulaboh Aceh Barat jumlah penduduk yang beragama katolik bisa dihitung dengan jari. Pada setiap hari minggu, di mana ketika kami berukumpul untuk beribadat di sebuah rumah toko, di simpang Kapela yang hadir tidak lebih dari lima belas atau enam belas orang. Tidak heran memang. Itulah fakta.

Namun fakta ini menarik untuk disimak, menarik untuk dikomentari dan menarik juga untuk direfleksikan. Ada tiga poin penting yang menurut saya mendapat titik perhatian penting.

Pertama, selama saya di Aceh sebagai orang katolik, saya tidak menyadari sebagai yang minoritas. Hal itu terjadi karena mayoritas penduduk Aceh yang muslim tidak membeda-bedakan warganya. Sikap dan semangat toleransi di Aceh sangat tinggi. Orang Aceh tidak memperdebatkan saya orang katolik, dia orang hindu atau anda muslim. “Agamamu agamamu, agamaku agamaku’ prinsip ini dipegang teguh, artinya sebagai sesuatu yang personal iman dan kepercayaan adalah hak masing-masing pribadi.

Kedua, jika direflesikan dengan sungguh kultur seperti di atas memampukan saya untuk beriman secara sungguh. Ruang toleransi yang terbuka lebar di satu sisi membuat saya menjadi pribadi yang beriman tanpa ada tekanan, di sisi yang lain saya dituntut untuk menghargai ungkapan iman orang lain.

Ketiga, salah besar jika pada awal-awal masa damai, di mana ketika banyak relawan dari berbagai agama dan suku bangsa masuk ke Aceh dengan misi ganda, selain membantu juga adanya kristenisasi. Tuduhan itu keliru besar. Saya menemukan di Aceh sebuah kultur kepercayaan yang tidak ditemukan di wilayah manapun di tanah air ini, bahwa muslim di Aceh melampaui dogma dan tempat ibadat. Muslim di Aceh masuk jauh ke sisi kultural dan pandangan hidup. Dalam hal iman dan kepercayaan orang Aceh tidak mudah terpengaruh, tidak mudah diombang-ambing.

Sebagai seorang yang beriman secara katolik saya banyak belajar dari orang Aceh yang mayoritas muslim, yakni iman kepada Allah tidak hanya cukup di tempat ibadat tetapi harus menjadi pandangan hidup. Kesaksian dan cara hidup orang Aceh telah mengajarkan saya bagaimana seharusnya menjadi orang beriman katolik yang matang, beriman dengan tanpa takut, menghargai toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral universal.

Bagi saya ini adalah sebuah sikap ‘pertobatan’ pribadi, sebuah ‘metanoia’ diri yang pantas untuk disyukuri.