Sepucuk surat melayang diterbangkan Merpati. Di tepi meja baca May Ziadah terbaca sepenggal kalimat “dahimu, Mariam, ya, dekatkan padaku. Ada sekuntum mawar putih dalam hatiku yang ingin kusemaikan di dekat dahimu. Betapa manisnya cinta bila mawar itu gemetar menahan malu …” May Ziadah bergetar membaca sepotong pinta cinta itu. Sepotong pengakuan dari Gibran Kahlil Gibran, sang penyendiri Lebanon yang dalam kata-katanya berpetualang menepi mencari cinta.

May Ziadah tidak lama larut dalam rasa. Sebentar pejamkan mata. Sastrawati yang cantik ini menggerakkan jari-jarinya, menggenggam pena dan menuliskan sebaris cinta “Saya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang bentuknya nan mempesona, muncullah sekunar bintang. Bintang Johar, Dewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang itu juga dihuni oleh insan seperti kita, yang saling mencintai dan mendendam rindu …?”

Pena May Ziadah terjatuh. Raganya bagai lunglai, ditimpa berulang oleh rindu. Kepada Merpati yang sama ia titipkan sepucuk surat balasan. Merpati pun membawa pesan rindu jauh menempuh jurang-jurang badai dan samudera, melewati malam-malam panjang, mengarungi hari-hari dalam bisu. Namun, di tangan Merpati yang tulus itu, rindu mereka bertemu.

Selalu seperti itu, antara Gibran Kahlil Gibran dan May Ziadah menjaga rindu, memupuk cinta. Keduanya tidak pernah sanggup untuk memiliki dan dimiliki. Cinta seperti hanya cukup untuk cinta. Cinta bagai tidak untuk dimiliki dan memiliki. Keduanya menjalin cinta hanya dalam surat-surat itu, dalam rindu itu, dalam mimpi-mimpi itu, dalam harap-harap itu. Sampai keduanya sama-sama jatuh sakit dan meninggal dunia, Gibran Kahlil Gibran tidak pernah melihat rupa wajah May Zaidah serupa apa. Demikian juga May Ziadah tidak pernah melihat serupa apa sosok lelaki pujaannya.

Jika aku membaca ‘Letter’s Love’-nya Kahlil Gibran terbersit dalam ingatku, dalam bayangku, dalam kenangku tentang sesungguhnya hakikat cinta. Bahwa cinta bukan untuk dimiliki dan memiliki. Cinta cukup untuk cinta. Sekalipun aku mencintai seseorang karena merindu pada senyumnya, pada ayunya, pada gemulainya, pada tuturnya, pada tingkahnya, sesungguhnya tentang cinta serupa itu adalah tulus.

Melampaui dari sekedar cinta sepasang kekasih, Kahlil Gibran dan May Ziadah dalam dan melalui surat-surat cinta mereka, telah mengajarkan kepadaku tentang hakikat cinta dalam kehidupan. Bahwa sekalipun aku tidak mengenal siapa pun, cinta harus aku berikan sebagai sebuah kewajiban.

Dimanakah cinta serupa itu diletak? Tidak harus kepada siapa dan dimana, tetapi dalam hati. Dalam diri kita sendiri. Namun bukan pula kita memendamnya sebagai senjata, yang secara berulang akan membunuh kita perlahan. Selalu harus kita berikan kepada siapa pun dan dimana pun dalam dan melalui buah-buah kasih dan sayang. Semakin kita mencintai dengan tulus, semakin kita memberi diri kita sendiri agar menjadi berguna bagi orang lain. Sekalipun aku, kau dan atau kita tidak saling memiliki. Semakin kita mencintai dengan sungguh, semakin kita ditawan oleh kebaikan-kebaikan, perhatian-perhatian dan kasih sayang dari orang lain.

Melampaui dari sekedar cinta sepasang kekasih, Kahlil Gibran dan May Ziadah dalam dan melalui surat-surat cinta mereka, telah mengajarkan kepadaku tentang hakikat cinta dalam kehidupan. Bahwa sekalipun aku tidak mengenal siapa pun, cinta harus aku berikan sebagai sebuah kewajiban. Aku harus selalu memberinya tanpa pamrih. Aku harus selalu memberinya dengan ikhlas sungguh. Agar antara kau dan aku, kita, hidup dalam cinta, sekalipun kita tidak akan pernah saling berjumpa dalam cinta seperti yang dimengerti kebanyakan orang sebagai kekasih.

Senyummu yang selalu kau tulis dalam rinduku, sudah cukup bagiku untuk mengerti tentang cinta yang sesungguhnya. Seperti Gibran dan Ziadah yang mencobai berulang memaknai itu dalam surat-surat mereka.