Apakah aku harus membunuh tikus-tikus ini sampai mati, mencincang-cincang tubuhnya, kemudian membakarnya jadi abu agar kamar ini tidak lagi menjadi  ‘lumbung padi’ bagi mereka. Ini pertanyaan terakhirku, setelah aku kehabisan daya, tuntas cara untuk mengusir mereka jauh-jauh.

Pertanyaan itu kedengarannya memang kejam (dalam konteks) sebagai sesama makhluk yang memiliki hak hidup yang sama di hadapan kehidupan. Tetapi mau apa dikata, jika hak hidupku yang damai diganggu. Mengapa tidak aku melanggar aturan hak asasi universal itu.

Bayangkan, sudah kuusir pada siang-siang. Ketika moncong mulutnya baru saja nongol di samping pintu. Sudah kututup semua jalur, kusekat semua cela, kurapatkan renggangan pintu dan jendela, kutempel-paku kasa kawat pada tiga lubang angin.

Tapi segerombolan tikus beragam ukuran itu masih saja tahu di mana lubang dan cela yang luput dari yang kutahu. Kadang, tiba-tiba sudah merangkak perlahan di antara buku-buku. Tiba-tiba keluar dari tas pakaian. Yang lain melintas di bawah kaki meja bacaku kemudian lari terbirit-birit dan lenyap. Entah. Entah dari mana mereka datang, dan entah kemana mereka pergi. Ingin tahuku tandas juga.

Pada suatu malam ketika aku benar-benar lelah karena seharian mencari cela-lubang dan menutupinya, tiba-tiba terdengar ada sesuatu yang jatuh dari  meja bacaku. Aku tahu, seekor dari segerobolan tikus itu sudah menggesernya. Perlahan aku mengintip dari balik selimut. Tetapi yang disasar tidak kutemukan. Larinya, rupa-rupanya lebih cepat dari kecepatan mataku. ‘’Tikus yang gesit, malam ini aku memaafkanmu, sampai jumpa besok pagi’’. Kataku dalam hati. Aku pun tertidur tapi tanpa mimpi. Lelah melumatku.

Pagi. Jam enam. Ketika mataku buka, bertebaran di lantai kamar potongan-potongan kertas. Barisan paragraf yang kucatat tangan tentang ‘Korupsi Sebagai Kejahatan Kelas Berat’ ludes. Pena yang kugunakan untuk mencatat tampak tergeletak di antaranya. Di tepi tempat tidur, tali sandal jepitku putus. ‘’Tikus sialan, oke, sekarang kita memulai perang yang sesungguhnya’’. Sumpahku.

Kurangkai kawat-kawat jadi serupa bujur sangkar, kugantungkan tiga mata kail dengan tiga umpan potongan ikan segar. Kutaruh dengan hati-hati di bawah tempat tidur, sambil berharap satu, dua atau tiga bahkan entah berapa dari tikus-tikus itu kena batunya. Istilah kerennya ‘jera’. ‘’Mampus lu’’, Kemudian aku pergi.

Tetapi rupa-rupanya aku masih terlalu bodoh bagi segerobolan tikus itu. Pintu kawat bujur sangkar itu menganga. Bahkan terbanting ke tepi tembok. Tiga potongan ikan raib. Mata kailnya bersih dan licin. Ini sebuah penghinaan. Kataku. Mengapa tidak, bukan hanya tidak kena jerat, tetapi juga perangkap itu pun terjungkal. Licinnya mata kail menunjukkan dengan amat jelas, segerombolan tikus itu telah menjilatnya. Hmmm

Murkaku tiba. Dibalut tanya aku bersumpah. Apakah aku harus membunuh tikus-tikus ini sampai mati, mencincang-cincang tubuhnya, kemudian membakarnya jadi abu agar kamarku tidak lagi menjadi  ‘lumbung padi’ bagi mereka. Agar mereka tidak lagi mengerat buku-buku, baju-baju, celana-celana, kasur, bantal dan kulit kakiku. Aku memang harus membunuh mereka sebelum mereka membunuhku.

Sebuah siang. Kutunggu dengan sepotong kayu berujung sebaris paku yang sudah kupersiapkan sambil melepas maki. ‘’Tikus-tikus, kepala kalian akan berdarah-darah hari ini. Ini adalah hari pengadilan terakhir. Dimana vonis mati kujatuhkan. Katakan kepada saudara dan kenalanmu agar mempersiapkan peti mati dan secabikan kafan’’

Seekor tikus melompat dari balik kasur. Dengan agak terperanjat aku melayangkan tongkat. Tapi tebasanku tidak mengenai sasaran. Seekor tikus sebesar kepalan tanganku lari luputkan diri. Sebelum hilang terbirit-birit, seperti mengejek, ia berhenti sejenak. Kuayunkan lagi tongkat kayu itu sekuat tenaga. Kuyakin tubuhnya koyak. Tetapi kembali tidak mengenai sasaran.

Barisan paku di kepala tongkat terbenam di lantai, memecahkan ubin yang sebelumnya sudah retak. Tongkat di tanganku patah jadi dua. Aku terperanjat. Mengapa tidak. Di bawah lantai kamar tempat aku beristirahat-lepaskan lelah. Tempat aku melakukan semua dan segala, dari membaca sampai menulis, dari berdoa sampai memikirkan dosa, dari berdandan sampai telanjang menganga lubang-lubang.

Lubang-lubang tikus. Aku baru mengetahuinya hari itu. Demikian juga dengan jalan tikus. Aku pun baru mengetahui siang hari itu juga. Lubang-lubang yang rapi, dengan jalur-jalur yang saling menghubungkan antara satu dengan yang lainnya secara rapi pula. Lubang dan jalur yang senyap dan kedap suara.

Oh Tuhan. Tidak ada seorang arsitek pun di dunia ini yang bisa membuat terowongan-terowongan bawah tanah dengan begitu bagus dan kokoh seperti yang dibuat segerombolan tikus-tikus itu. Entah sejak kapan mereka membangun system jaringan bawah kamarku. Entah, aku tidak tahu.

Aku kemudian jadi merinding ketika membayangkan jika suatu saat aku dan segenap isi kamarku ambruk. Aku jadi ciut dengan segerombolan tikus itu. Mereka rupa-rupanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan daripadaku. Sekalipun aku mengagung-agungkan doa, mendewakan buku-buku, menghormati pakaian-pakaian, dan menghargai tempat tidurku, tapi jika segerombolan tikus itu sepakat meruntuhkan lantai kamarku, maka aku pun ambruk.

Sumpahku jadi ragu-ragu. Apakah aku masih melanjutkan misiku, menuntaskan tikus-tikus itu satu-satu? Atau apakah aku harus memberi mereka makan dan merawatnya agar menjadi binatang peliharaan dan sahabat? Oh ya, aku tidak perlu menjawabnya, sudah kutemukan caraku yang baru. Berdamai untuk sementara waktu, kemudian dalam pelukanku aku akan menghilangkan mereka satu-satu.

Tak ada cara yang lebih gagah, tak ada daya yang lebih megah, tak ada tongkat pengadilan yang lebih mematikan, pun tak ada sangkar penjara yang lebih membuat jera selain berpura-pura baik, berpura-pura damai, berpura-pura tidak peduli, walau sesungguhnya dalam perjumpaan yang pura-pura itu kita sudah sedang saling membunuh.

“Mau dibilang fiksi silahkan, mau dibilang fakta terserah….”

(Seno Gumuria Ajidarma)