Apakah setiap orang benar-benar tahu

ke mana mereka pergi?

(Denis Didorat, 1713-1784)

‘Kapan anda mati’ pertanyaan itu mengejutkanku. Mengapa tidak, sudah sejak aku dilahirkan hingga aku berusia menjelang dua puluh lima, tidak pernah terbayang dalam benakku jika pertanyaan serupa itu akan menerjangku. Pertanyaan itu membuatku takut dan merinding.

Aku hanya menyaksikan kematian-kematian. Aku bahkan menangisinya. Aku memperbincangkan kematian-kematian. Aku bahkan pernah menuliskan tentangnya, bahwa kematian itu adalah momen pembebasan. Tetapi, ketika kematian itu dihadapkan berhadap-hadapan denganku, aku lantas menjadi ciut dan kecut.

“Usia manusia hanya tujuh hari saja’ kalimat penjelas itu membuat aku menjadi tidak berdaya. Bibirku bergetar. Mulutku kerontang. Hatiku bagai dicabik-cabik. Rasaku bergemuruh. Di dalam ruang kepalaku menyembul tanya-tanya. Namun tak ada satu pun yang membuatku puas.

Aku sadar, bahwa aku benar-benar takut pada kematian. Walau sesungguhnya, tentang kematian aku harus melewatinya. Entah. Aku sadar, bahwa kematian adalah sebuah momen peralihan menuju kehidupan baru, tetapi sesungguhnya dari balik dadaku aku takut.

Mati itu hantu. Demikian kata hati kecilku. Siapa yang dapat melukiskan tentang kematian, sebagaimana kita melukiskan kehidupan kepada seorang janin? Apa yang bakal terjadi di alam kematian? Seperti apa situasi dan suasananya? Tak seorang pun dari kita dapat menjelaskannya.

‘Kenapa takut’ justru kalimat peneguhan itu membuatku menjadi tambah ciut. ‘Kematian, entah diterima atau tidak, setiap yang hidup harus mengalaminya’ jelasnya lebih lanjut. ‘Karena itu, sebagai makhluk yang hidup kita hanya dapat mengamalkan kebaikan-kebaikan, bukan sebaliknya. Kita menjadi takut kepada kematian, karena kita tidak menggunakan secara baik tujuh hari yang diberikan Tuhan kepada kita”

Ciutku luluh. Aku menjadi paham, bahwa kematian pertama-tama harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Selanjutnya agar kematian tidak dipandang sebagai ‘hantu’ aku harus mengusirnya dengan kebaikan-kebaikan dalam setiap kesaksian hidupku.

Tujuh hari hidup manusia: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Di antara tujuh hari itu kita hidup, dan di antara tujuh hari yang sama kita mati. Kita tidak dapat memilih kapan kelahiran dan kematian itu tiba. Kelahiran dan kematian, baik yang diprediksikan maupun yang diciptakan, sesungguhnya adalah kehendak Tuhan.

“Hanya Tuhan yang tahu” Demikian Abu Malikun Aziz menutup cerita. Pemimpin pondok pasantren Babul Mukarammah Beutung Ateuh Nagan Raya Nanggroe Aceh Darusallam ini, telah mengajarkan kepadaku tentang  hakikat hidup. Pertanyaannya memang tampak sangat sederhana, tetapi sejatinya mengandung makna yang besar.