she lageeMalam itu, 8 Juli 2007. Malam pertama SHE LAGEE, GIVE SPACE FOR PEACE dipentaskan di Taman Ismail Marzuki Jakarta setelah tiga bulan penuh melakukan pelatihan yang melelahkan. Empat puluh dua (seniman) penari dari 21 desa yang tersebar di Aceh Barat mengambil peran penting dalam kesuksesan acara tersebut. Tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata, malam itu, di atas pentas dalam durasi 45 menit para seniman tua dan muda menumpahkan segala rasa. Alunan lembut serune kalae, gemulai lembut penari burung, hentakan kayu pagar, pecahnya gemuruh rapai, dan senandung sendu syair Aceh menyatu-lebur dalam ritual pewarisan Rapai CEBREK, yang sudah berusia ratusan tahun dari seorang kakek kepada cucunya yang semata wayang.

 Saya meneteskan air mata, ketika penonton larut dalam riuhan tepuk tangan. Tidak terbayangkan dalam benak saya, kalau 42 penari itu akan memberikan yang terbaik. Sungguh, mereka telah menumpahkan segala rasa, menyatu-jiwa dalam karakter masing-masing, sehingga membentuk suatu harmoni yang tak muda terpenggal. TOTALITAS dan KESUNGGUHAN bahwa mereka adalah AGEN PERDAMAIAN dalam kapasitasnya sebagai SENIMAN yang telah membuat saya harus larut dalam kesedihan. Ketika orang mengatakan dan atau menanyakan kepada saya, kapan atau karena peristiwa apa anda menangis karena gembira, maka jawaban saya adalah peristiwa malam 8 Juli itu. Belum ada yang lain.

 Ada dua alasan mengapa saya harus menumpahkan air mata. Pertama, tiga bulan pelatihan yang melelahkan. Selama tiga bulan penuh, sejak April-Juni, para seniman ini telah mengorbankan sawah ladang, bangku sekolah dan bangku kuliah, kakak dan adik, orang tua, istri dan anak mereka untuk sebuah misi yang sama MENYUARAKAN PERDAMAIAN.  Selama proses pelatihan tidak sedikit air mata yang tumpah. Saat-saat yang mencemaskan muncul ketika sebagian dari seniman ini jatuh sakit dan pingsan. Namun, saat-saat menggembirakan selalu harus terbit setiap saat. Dalam canda dan tawa, segala sedih dan susah, marah dan benci pun luluh jua.

 Kedua adalah karena penjiwaan dan totalitas. Empat puluh dua seniman yang tergabung dalam teater tari kontemporer SHE LAGEE ini adalah korban konflik di Aceh baik yang dialami secara langsung maupun tidak. Sudah sekian puluhan tahun mereka bergulat dengan konflik yang seperti tiada berujung. Tetapi kelegaan itu muncul setelah penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Persis ketika itu seni (baik teater maupun tari) yang seperti mati suri perlahan-lahan bangkit. Pasca konflik dan tsunami Aceh, seniman dalam jumlah besar dengan beragam latar belakang yang pertama kali menyuarakan tentang PERDAMAIAN adalah SHE LAGEE. Lantaran itu, bukan tanpa alasan jika para seniman tersebut sungguh sangat menjiwai apa yang sedang mereka lakukan. Sebuah totalitas yang tak terperi terukir dari gerak, suara dan alunan yang mereka  tampilkan.

 Karena dua alasan di atas saya meneteskan air mata. Lagi-lagi saya sulit untuk melukiskan dengan kata, ketika terjadi perjumpaan antara keharuan yang mendalam dan kegembiraan yang dirasakan. Dalam dan lewat air mata dan sepenggal catatan ini saya menumpahkannya.