senjaSepasang tupai, jantan dan betina, berkejar-kejaran. Meloncat-loncat di antara dahan kelapa tua. Sesekali terjungkal jatuh ke pasir. Antara seru dan nyeri kedua binatang itu melakukannya sering. Tapi entah karena lelah, keduanya terbirit-terbirit lantas lepas pergi menuju senja, ke barat menyelinap di antara pusara-pusara China.

Di sana, dari muasal sinar senja tampak sempurna. Wajah jingganya tumpah ke atas samudera. Jadi bercahaya, berpantul-pantul di tepis riak-riak seperti kaca. Dan bias-bias gelombang sinarnya pun pecah ke daratan menyusuri jejak-jejak bocah-bocah yang menendang bola di antara dua pagar gawang.

Aku benar-benar tidak sabar. Selalu tidak sabar. Senja itu begitu mempesona. Walau datang setiap saat dan pada setiap harinya selalu indah. Tapi hari itu benar-benar istimewa. Ada rasa yang menggugah untuk merekamnya. Hari itu Senin, 1 Desember 2008.

Mengenang Desember dari Suak Ribee. Itu maksudku merekam peristiwa. Di Nanggroe Aceh Darusallam, Desember adalah bulan penuh makna sejak gempa dan tsunami mengguncangnya. Serambi Mekah itu seperti patah berantakan. Yang tertinggal adalah pertobatan dan perubahan.

Senja tiba-tiba berkelebat cepat. Mematahkan lamunanku yang sebenarnya cuma sebentar. Dari balik pagar tempiasan sinar senja menampar pagar-pagar bambu. Bilah-bilah tiangnya menjingga, menyisahkan bayang-bayang pekat tergeletak pada debu. Perlahan-lahan meregang semakin panjang.

Pecah bias-bias jingga itu menerobos masuk saung-saung. Wajah gadis-gadis berjilbab bercahaya. Senyum mereka tampak akrab dibelai senja. Seperti biasa sebelum adzan magrib tiba, pasangan pencinta biasanya bercerita di sana. Di bawah senja.

Ada-ada saja kisah mereka. Sepasang kekasih mengisahkan tentang sekolah. Yang sepasang bermanja-manja, yang lain lagi bercerita tentang masa kanak-kanak. Sepasang yang lain meneteskan air mata, yang lain bercengkarama tertawa ria. Dan tidak sepasang pun yang berkisah tentang kota yang berantakan karena tsunami yang menghantamnya.

Lupakah? Tidak adakah trauma? Aku terbayang ditampar sinar senja. Seperti ditegur berulang, sadarku menetas jatuh ”Jangan mengingat-ingat senja, sekarang marilah kita berbenah”.