Seorang perempuan menampar pacarnya yang baru seminggu jadian, lantaran sebuah pertanyaan konyol “Apakah kamu masih perawan?”. Tidak hanya itu, segelas minuman dengan campuran cream kental mengenai sebagian wajah sang kekasih yang dalam sekejap berubah menjadi mantan.

Wajah sang mantan yang setengah basah itu merah padam. Sambil menahan malu, dia berlalu di antara belasan pasang mata. Mata-mata para perempuan. Pandangan mereka menembus redup malam itu. Bahkan sampai membunuh kejantanan pria tertampar. Sang pria yang ketiban malu, jalan menunduk, terdengar suara menggerutu, entah umpat dan atau entah apa, sebelum menghidupkan sepeda motornya dan menghilang di balik malam.

Tinggalah perempuan itu seorang diri di sudut meja dengan segelas minuman cokelat tua. Di bawah percikan lampu kelap kelip, perempuan itu tampak melepas senyum legah. “Engkau mencintaiku atau sebagian daging dari tubuhku” kata perempuan itu sambil beranjak dari tempat duduknya dan kemudian ikut menghentak-hentakkan tubuhnya. Hentakkannya lebih dasyat dari suara music yang bagiku tampat terdengar pecah berantakan.

Aku mendekat  mencoba menyapa “Hi, sendiri?” Dia tersenyum. “Ya, sendiri”. Balasnya. “Rendy” aku memperkenalkan diri dengan suara setengah teriak, mencoba mengalahkan berisik music. “Mawar” dia pun balas memperkenalkan diri tapi dengan berbisik. Kedua belah bibirnya menempel di telinga kananku “Jangan teriak, aku bisa dengar koq” suaranya terasa hangat.

“Bisa aku temani” bisikku di samping kupingnya. Bau mawar terasa begitu lembut. “Jangan, aku sudah tidak perawan lagi?” timpalnya. “Sepertinya kamu salah menilaiku” aku mencoba menggoda, walau sebenarnya aku kesal karena menyamakan aku dengan mantannya. “Berarti kamu adalah pria yang berpura-pura jujur dan atau berpura-pura untuk terima apa adanya”. Jelasnya masih dengan kecewa penuh sinis.

Suara music belum juga menepi. Suara yang sama, pecah yang sama dan gemuruh yang sama, membuatku menafsirkan tubuh dalam gerak yang sama pula. Kaku. Jawaban Mawar dan suara music membuatku gundah. Hendak kusudahi obrolan, tetapi rasa mengajakku untuk tidak menyerah.

Tetapi tidak bagi Mawar. Gadis cantik itu begitu pandai padukan tubuh di antara bunyi yang suntuk. Gerakannya suluk dalam melodi. Hentakkan kakinya menyapa gemuruh bass. Desisnya nyaris seirama tamparan piringan. Matanya sesekali berkedip serupa lampu warna-warni.

“Rendy, perempuan sebagai dirinya dalam eksistensinya sebagai manusia perempuan, tidak hanya diukur dengan masih perawan dan atau tidak perawan. Jika anda mencintai seorang perempuan hanya karena masih perawan maka anda hanya mencintai sebatas ‘vagina’”

Malam hari itu, Mawar benar-benar menjadi dirinya sendiri seperti yang ditafsirkannya tentang apa itu kehidupan bagi seorang perempuan. Tentang itu ia meringkas dalam dalam penjelasannya yang sempurna “Rendy, perempuan sebagai dirinya dalam eksistensinya sebagai manusia perempuan, tidak hanya diukur dengan masih perawan dan atau tidak perawan. Jika anda mencintai seorang perempuan hanya karena masih perawan maka anda hanya mencintai sebatas ‘vagina’”

Penjelasan tiba-tiba itu membuatku tersintak. Kemudian Mawar melanjutkan “Dan karena sang lelaki  rupa-rupanya hanya mencintai sang perempuan hanya sebatas ‘vagina’ maka…” plak….. Aku terperanjat. Tidak kusangka Niken akan menamparku. Tamparan itu membuat belasan pasang mata yang sama memandangiku. Mereka memandangi berulang. Di bawah redup lampu itu, di tengah suasana gemuruh music yang tidak menentu , aku dihakimi oleh mata para perempuan. Walau sesungguhnya aku sadar, aku tidak berbuat salah.

Hendak aku mengejar Mawar untuk menanyakan alasan mengapa ia menamparku. Tapi langkahku terpaku. Mata-mata para perempuan di kafe malam itu terlalu tangguh. Pandangan mereka benar-benar menusuk rasaku, membuatku tidak hanya malu, tetapi juga ciut. Tiba-tiba seseorang datang mendekat, membisikkan dengan lembut di kupingku “Pergilah, namun agar kau tahu perempuan itu Mawar, sesungguhnya dia adalah bunga sekalipun kau mengingingi yang tidak berduri”.