Dikisahkan dalam sejarah keyakinan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Dan memang demikianlah adanya, bahwa manusia tidak diciptakan untuk melampaui penciptanya sendiri. Sekalipun di antara semua makhluk hidup yang ada manusia disebut dan diyakini sebagai makhluk yang sempurna, namun di mata Allah, manusia adalah sama seperti makhluk hidup yang lain. Manusia adalah debu tanah.

Mengapa? Karena demikianlah sejatinya Allah menciptakan manusia dalam hidup dan kehidupan. Hidup dan kehidupan untuk semua makhluk hidup, termasuk di dalamnya adalah manusia merupakan sebuah proses panjang menuju kesempurnaan. Sebuah pencarian tanpa henti menuju kesempurnaan sejati. Manusia dituntut oleh Sang Pencipta agar dalam ketidaksempurnaannya manusia senantiasa mencari dan menemukan hakikat kehidupan itu sendiri.

Faktanya bahwa manusia diciptakan Allah, tidak hanya laki-laki dan atau pria saja, tetapi juga ada perempuan dan atau wanita menunjukkan secara amat jelas perihal ketidaksempurnaan itu. Pada kedua jenis manusia ini terdapat kelebihan-kelebihan dan pula kekuarangan-kekurangan dalam segala hal termasuk secara kodrati bahwa yang satu diciptakan sebagai laki-laki dan yang lain sebagai perempuan, atau sebaliknya.

Ada benarnya kata Shakespeare dalam Hamlet-nya bahwa “Manusia adalah inti sari alam semesta, pemimpin segala makhluk” Namun manusia mesti sadar bahwa di mata dan di hadapan Allah, Sang Pencipta, manusia bukanlah makhluk yang sempurna.

Sesungguhnya, dalam hidup dan kehidupan, manusia dituntut untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Lantaran itu mendambakan pasangan – seorang laki-laki untuk seorang wanita, atau seorang wanita untuk seorang laki-laki – yang sempurna dalam hidup dan kehidupan adalah sesuatu yang mustahil. Jika pun ada seorang laki-laki yang dipandang sempurna di mata seorang perempuan, atau sebaliknya, seorang perempuan menjadi tampak begitu sempurna di mata seorang laki-laki itu hanyalah sebuah kesan.

Namun demikian, jauh dari sekedar sebuah kesan yang biasa, kesan tersebut sesungguhnya adalah kesesuaian dan atau kesamaan prinsip, pandangan, dan arah perjalanan hidup dan kehidupan menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Dalam kesan tersebut, yang menjadi titik tolak pencarian hakikat kehidupan, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian, kesamaan-kesamaan, penyelarasan-penyelarasan dengan tanpa saling memaksakan kehendak.

Dalam proses pencarian tersebut antara laki-laki dan perempuan direkatkan oleh tali cinta kasih yang memungkinkan relasi perjumpaan dan pencarian akan makna kehidupan tidak ternodai dan atau terkotori oleh kemunafikan dan pengkhianatan, pengabaian hak, pemaksaan kehendak dan apalagi saling meniadakan dan membunuh. Sebaliknya dalam ikatan cinta sepasang manusia diarah-tuntun melalui dan menuju kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya merupakan jalan menuju kesempurnaan itu sendiri.

Dalam cinta kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan belajar untuk tidak hanya menjadi diri sendiri, tetapi juga menjadi bagian bagi pasangannya. Di sinilah letaknya kesempurnaan cinta. Tanpa ada pemahaman dan saling pengertian bukan tidak mungkin, jalinan cinta yang dibangun akan ambruk diamuk keraguan dan bahkan ditelantarkan oleh pengkhianatan. Sebaliknya dengan kebenaran: kejujuran, saling pengertian dan saling menghargai, cinta kasih yang dibangun karena kesusuaian-kesusuaian akan kokoh, kuat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya.