maria florida ernestinaSeorang kawan, kebetulan berasal dari Sabang, ujung terjauh di belahan barat Indonesia, suatu ketika dalam perbincangan mengenai agama, tiba-tiba saja bertanya tentang sesuatu yang berada di luar topik hanya karena seseorang lewat di depan kami sambil melempar senyum ke arahnya. Tidak biasanya seseorang sampai mengganggu pembiacaraan kawan saya ini kalau dia sedang berbicara dengan penuh semangat, apa pun temanya. Tetapi ketika itu berubah, jadi berbeda. Seseorang yang lewat di depan kami itu, bukan sembarang seseorang. Dia adalah seseorang yang membuat kawan saya ini rela menutup semua referensi ilmu agamanya dalam pembiacaraan sore hari itu hanya demi sepotong jawaban yang akhirnya hanya menghasilkan tiga huruf saja: ‘wow’

‘Apa arti kata ‘cantik’ dalam bahasa Flores? Serupa revolusi copernican yang mengguncang dunia, saya pun terperanjat mendengar pertanyaan itu. Apa hubungan antara sejarah nabi-nabi dan kitab-kitab dengan pertanyaan ini. Begitu cepat kawan saya beralih topik dari dunia metaphisik ke dunia fisik, dari teologis ke biologis. Tetapi untuk meladeninya dengan enteng saya menjawab bahwa dalam bahasa Flores ‘cantik’ adalah ‘cantik’. Dia terperanjat. Dahinya berkerut serupa kulit jeruk. Bibirnya melengkung diagonal, ‘Masa, bagaimana mungkin bahasa Flores sama seperti bahasa Indonesia?’

Menyudahi kebingungannya, saya menjelaskan bahwa ‘Tidak ada bahasa daerah Flores. Namun, jika bahasa Flores yang kamu maksudkan sebagai bahasa daerah, maka bahasa daerah di Flores itu beragam dan tersebar merata dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Berbicara tentang bahasa Flores berarti berbicara tentang bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu di Flores. Namun jika kamu bertanya apa arti kata ‘cantik’ dalam bahasa daerah saya sendiri,  tentu saja saya akan menjawabnya walau sebenarnya agak sulit untuk menyamapersiskannya’ Rupanya penjelasan saya belum juga membuat kawan saya mengerti. Kebingungannya membuatnya mengejar dengan pertanyaan yang membuat saya kesal ‘Masa, pulau sekecil itu  punya banyak bahasa daerah???’

“Kawan, jika kamu ada di Flores, saya sudah mencincangmu jadi makanan komodo atau ikan paus, atau jika kedua bianatang itu jijik melihatmu, maka akan saya tenggelamkan di Kelimutu” kata-kata saya itu membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi dia tidak tahu kalau di balik dada saya bergemuruh kesal yang bisa saja meledak lewat sebuah kepalan tinju. Sambil berusaha memendam kekesalan, saya mencoba untuk menjawab pertanyaanya dengan sabar. Tanpa menunggu lama saya segera mengajaknya ke kantor. Setibanya di kator, saya menyeretnya ke hadapan dinding, dimana terpajang peta Negara Kesatuan Republik Indonesia lengkap dengan keterangan 33 propinsi, 349 kabupaten dan 100 kota,  yang berukuran satu setengah kali satu setengah meter.

Sebelum saya menunjukkan daerah dan bahasanya yang tersebar di pulau Flores, terlebih dahulu saya memberikan sedikit kata pengantar yang menurutnya sangat aneh.  “apakah guru sosiologi, sejarah, atau ilmu pengetahuan sosial di sekolah dasarmu dulu tidak mengajarkan tentang ini? Seenaknya saja kau menghilangkan Flores dari otak sejarahmu? Susah payah saya belajar tentang daerahmu, seenak perutmu kamu melupakan tanah kelahiranku? Orang Indonesia macam apa kau ini? Mendengar umpatan itu kawan saya tersenyum sinis. Dia menyebutnya ‘aneh’

Namun, di balik senyumnya mencuat kebingungan yang amat sangat. Dia menjadi tambah bingung, lantaran mengapa hanya dari sebuah kata ‘cantik’ yang semula sepele justru membuat saya bisa naik pitam begitu. “Aneh, biasa aja dong, kenapa jadi galak begini? Saya tidak menanggapi keluhannya itu. Sambil mengangkat tinggi-tinggi jari telunjuk, saya mengarahkan matanya ke arah peta, lantas telunjuk dijatuhkan di peta wilayah Flores bagian barat. “Ini namanya Manggarai” Di daerah sini kata ‘cantik’ artinya ‘molas’. Kawan saya mengangguk-angguk. Saya menggeser telunjuk beberapa sentimeter ke timur. Di sini Ngada, kata ‘cantik’ artinya ’Bue modhe’. Tampak dia masih mengangguk-angguk.

Telunjuk menggeser lagi sedikit ke tengah, ke Nagekeo, tepatnya di pesisir selatan perbatasan dengan Ende ‘Di sini kampung saya, ya kurang lebih di sini, kampung saya namanya Romba. Ingat dan hafal baik-baik. Di sini orang biasanya menerjemahkan kata ‘cantik’ menjadi  ‘mbu’e modhe’. Beberapa detik dia berpaling ke arah saya. Kemudian mendekatkan wajahnya ke arah peta, mengamati lebih dekat agar lebih nyata.

‘Oh…” ceplosnya. Hanya dua huruf itu yang keluar dari mulutnya yang setengah nganga, sambil membenarkan kacamatanya. Kemudian saya melanjutkan, sambil meletakkan jari telunjuk ke wilayah Ende. ’Di sini ‘cantik’ artinya ‘sare’ bisa juga ‘gaga’. Dan ‘Di sini,’ Telunjuk jatuh di wilayah Maumere, ’cantik artinya wae buan gaga’ dan ’Di sini’ sambil menunjukkan jari telunjuk ke daerah  Flores bagian paling timur, saya mengatakan ’Di sini cantik artinya kelemun. Di sini banyak cewek kelemun, karena masih keturunan portugis’ saya menambahkan dengan sedikit bumbu marica garam. ’Tapi semua kata bahasa daerah yang sebutkan di atas itu pun masih sedikit contoh saja, karena untuk kata ’cantik’ saja di satu daerah bisa beragam kata’ saya menjelaskan.

“Wow…” kawan saya ternganga. Mungkin bayangannya langsung melayang ke gadis-gadis Lamno Aceh Jaya, salah satu daerah di Aceh yang gadis-gadisnya mayoritas bermata biru, sebab kata muasal cerita masih juga berdarah portugis. Mungkin itu yang membuat mulutnya mengucap ’Wow’ . Tiga huruf itu membuatnya ternganga, tetapi serentak itu pula diam terkatup rapat. Dari dua huruf, ‘oh..’ sudah menjadi ‘wow…’ Saya lantas menarik garis tafsir, rupanya berbicara tentang agama tidak terlalu menakjubkan, ketimbang berbicang tentang ’cantik’. Dunia metaphisik rupanya terlalu berat, dan yang fisik menjadi lebih terserap. Teologis terlalu mengawang, jika berhadapan dengan dunia bilogis yang mendarat.

Dan rupanya ketika telunjuk bergeser-geser dari barat ke timur Flores, barulah kawan saya paham kalau Flores itu unik dan khas, karena kaya suku dan daerah, juga akan bahasa dan ragam katanya. Tapi pahamnya kawan saya sungguh sangat terlambat. Mengapa baru pada usianya yang ke dua puluh sembilan baru mau belajar ’Indonesia’. Untuk apa sajakah otak sejarah, geografi dan pengetahuan sosial kawan saya ini, semasa sekolah dasar sampai sarjana? Atau jangan-jangan pulau Flores memang tidak tercatat dalam buku pelajaran sekolah dasar atau sekolah menengah pertama, atau sekolah menengah atas atau sarjana dalam  setiap kurikulum yang dikembangkan negeri tercinta ini, selain sebagai tercatat sebagai tempat pembuangan Soekarno dulu?