Sebelum petang waktu itu, dua sukma patrikan pada bentangan salib pembebasan untuk diingat, dikenang, dialami dan dimaknai dengan cara-cara baru. Kepada loh-loh batu mereka berkisah, berteriak, meronta, bercerita, bersedu sedan tentang lara.

Rorty pernah berujar: Rasa sakit itu tak terkatakan: ia adalah sesuatu yang menghubungkan kita manusia dengan binatang-binatang bungkam. Demikianlah para korban kekejian manusia yang menderita tidak mempunyai banyak kata.

***

Di padang savana, sebelum petang waktu, sepasang sukma bersahut-sahut dalam cerita. Satu sukma menarik garis panjang. Membuka ingatan masa lalu, menjadikannya untuk hari ini dengan mencoretkannya pada sebongkah loh batu, sebagai tanda bahwa sejarah lara pernah ada, dan akan selalu ada dilekap waktu.

Dan seorang yang lain, menukik jauh mata penanya ke balik serabut, di mana embun benamkan diri, mengakatnya ke permukaan untuk hari ini dan mencoretkannya pada sebongkah loh batu, pun pula sebagai tanda bahwa sejarah lara pernah ada, dan akan selalu ada dilekap ruang.

Menjelang petang waktu itu, dua sukma bercerita tentang lara, tentang belalang busung lapar, yang terkulai lelah di samping loh-loh batu tempat dimana mereka torehkan cerita. Tentang ketakberdayaan, tentang ketidakmampuan, tentang kekalahan, tentang akibat penindasan dan kesewangan manusia kepada alam.

Satu sukma berkisah membangun kenangan tentang keelokan padang savana, semenjak dunia diciptakan sampai ketika dia menjadi ada, walau hatinya berduka. Dia merentangkan cerita panjang, dari kesuburan lembah-lembah sungai Nil sampai kepada keindahan embun jatuh di daun angannya. Pada loh batu dia menuliskan : ”Di sini, di padang savana, aku ada” Tiada kata lebih, hanya itu.

Dan seorang yang lain, mencari-cari jawab di balik-balik serabut. Dia menarik ke atas sejumput perdu tua. Daunnya mengerontang, serupa diserang tulah belalang, seperti dikisah dalam Kitab yang pernah dibacanya. Tak ada embun uap sungai Nil selain detak detik kematian. Padang savana tampak gersang. Dia terperanjat, tangannya bergetar. Pada loh batu dia menuliskan: ”Kematian mendekat, alam bermuram durja” Tiada kata lebih, hanya itu.

Satu sukma meneteskan air mata. Dia tak membayangkan bahwa keindahan akan secepat itu menjadi luka. Dia menundukkan wajahnya pada debu tanah. Serupa menyatu pada serabut yang tercerabut. Serupa meranggas bersama daun-daun berguguran. Serupa gersang bersama perdu tua. Serupa mau tewas bersama belalang-belalang busur lapar yang terkulai lelah dengan kaki menukik ke langit panas. Pada loh batu dia menuliskan : Di sini, di padang savana, aku ada” Hanya itu, tiada kata lebih.

Dan seorang yang lain, pun jatuh air matanya. Dadanya meledak-ledak hingga ia pun menumpahkan iba. Serupa hanya segempal tanya, dia meronta-ronta, mengapa ada belalang busung lapar? Mengapa akan ada kematian? Mengapa alam bermuram durja? Mengapa embun itu melenyap? Pada loh batu dia menuliskan: ”Kematian mendekat, alam bermuram durja” Hanya itu, tiada kata lebih.

Sebelum petang waktu itu, dua sukma patrikan pada bentangan salib pembebasan untuk diingat, dikenang, dialami dan dimaknai dengan cara-cara baru. Kepada loh-loh batu mereka berkisah, berteriak, meronta, bercerita, bersedu sedan tentang lara. Tentang belalang-belalang busur lapar. Tentang alam yang kerontang. Tentang kepongahan manusia. Tentang penindasan, tentang malapetaka dan kepedihan.

Kepada siapa mereka mengadu? Dua sukma bercerita pada Loh loh batu, loh loh sejarah. Pada loh-loh batu, dua sukma melepas kata yang takkan digerus angin. Terik padang takkan menghanguskan. Savana takkan merimbuni. Warna-warni tinta pena tak mengering. Sajaknya tetap dilekap ruang dan waktu, menapak pada loh loh batu. Itulah ingatan dua sukma pada cerita loh loh batu. Ingatan sejarah belalang busung lapar.

***

Menutup kisah sebelum petang waktu itu, pada loh batu dua sukma menuliskan: ”Menanti embun, kami menangis. Kami tidak menuliskan apa-apa. Hanya itu” Tak ada kata lebih, selain hanya sebatas air mata. Seperti Rorty pernah berujar: Rasa sakit itu tak terkatakan: ia adalah sesuatu yang menghubungkan kita manusia dengan binatang-binatang bungkam. Demikianlah para korban kekejian manusia yang menderita tidak mempunyai banyak kata.