“Bang, di Rusia ada juga larangan untuk perempuan supaya jangan pake rok mini ya. Kirain cuma di Aceh aja yang larang pake jeans ketat?” tanya seorang pelajar laki-laki ketika melihat saya sedang membaca berita pelarangan itu di kompas.com edisi hari ini.

“Ya, katanya supaya jangan merusak citra parlemen, soalnya di sana, di Rusia, orangnya sopan-sopan, santun-santun, wuih…pokoknya jarak antara Rusia dan surga tuh dekat banget”. Saya menjawab dengan sedikit kelakar. Kami pun terbahak-bahak. Di ujung canda dan tawa, sang pelajar kemudian melanjutkan tanya “Kalau menurut abang, apa sih sebenarnya alasan yang sebenar-benarnya sehingga harus dilarang?”

Inilah pertanyaan yang menggerakkan saya untuk menulis catatan ini, walau sesungguhnya, jujur saja, sebenarnya saya pun tidak yakin apakah jawaban saya benar-benar menjawab pertanyaannya atau tidak. “Betul bang, saya bingung, walau dilarang masih aja tetap gak jalan-jalan. Ini salahnya dimana sih?” Dia bingung. Saya juga bingung. Kami sama-sama bingung. “Ya, ya…salahnya apa dan atau siapa ya?”

***

Oke kita mulai….Ada sesuatu di balik rok yang dikenakan oleh seorang perempuan, apalagi rok mini. Pun ada sesuatu di balik blue jeans yang dikenakan seorang perempuan, apalagi jika blue jeans yang dikenakan itu menunjukkan lekuk pinggul, bongkah pantat, bilah paha dan betis. Wow, sesungguhnya ada apa di balik rok dan atau blue jeans itu sehingga harus dilarang untuk ‘Jangan sekali-kali mengenakannya’. Jika masih nekat mengenakannya ‘Oh my God, manahan (mana tahan)’

Mari kita mencari-cari ‘lambing hitamnya’ dulu. Dengan sengaja memang saya mencoba mengajak anda untuk mencari-cari ‘kambing hitamnya’. Sebab jangan-jangan yang ada di balik rok mini dan atau blue jeans ketat itu adalah seekor kambing hitam yang berjenggot lebat, atau seekor kambing hitam bergigi emas. Hmmm…..

Apakah salah ‘kambing hitam’ itu? Atau apakah salah rok mini dan atau blue jeans ketat? Atau jangan-jangan salah pinggul dan pantat perempuan? Atau jangan-jangan salah kelamin, mengapa harus disembunyikan? Atau jangan-jangan salah mata lelaki, mengapa harus jelalatan lantaran selalu penasaran melihat ‘barang enak’? Salah nafsu. Koq nafsu disalahin? Atau jangan-jangan pula salah kebiasaan dan kelaziman manusia yang selalu ‘menyimpan’ sesuatu yang rahasia, suci, tabu, kudus dan bahkan busuk sehingga selalu ingin ‘dicaritahu-singkap-ungkap’? Atau jangan-jangan..?

“Ada Penyadaran Diri Di Balik Rok Mini”

Entahlah, semua ‘kambing hitam’ di atas bisa benar, bisa juga tidak. Namun yang pasti bahwa persoalan etika-moral baik etika-moral religius maupun etika-moral social selalu menjadi alasan utama untuk mengatakan dan bahkan memaksa kaum perempuan untuk tidak dan atau ‘jangan sekali-kali mengenakan rok mini atau blue jeans ketat’.

“Yaillah…ini alasan klasik koq” Demikian celoteh protes yang selalu kita dengar “Jangankan perempuan mengenakan rok mini dan atau blue jeans ketat. Kalau otak udah ngeres, perempuan pake pakaian besi aja masih bisa melahirkan pikiran yang nggak-nggak” Ada juga celoteh yang lain yang lebih ngeri “perempuan kan hawa, jadi ya bisa melahirkan hawa nafsu, sedangkan laki-laki kan adam, mana ada adam nafsu?” Celoteh protes yang lain adalah marah “Mengapa perempuan selalu dijadikan korban. Pelarangan jenis ini adalah bentuk pemaksaan kehendak dan bertentangan dengan hak asasi manusia”

Sudahlah…mari kita tinggalkan komentar dan celoteh protes, pun atau jika ada yang mendukung. Untuk sementara kita sisihkan, mungkin akan dibahas di lain diskusi. Yang perlu dicatat bahwa dari beragam jenis pelarangan, secara khusus perihal larangan terhadap kaum perempuan untuk tidak mengenakan rok mini dan atau blue jeans ketat adalah merupakan bagian dari hakikat kehidupan manusia itu sendiri dimana manusia selalu harus bertaruh dengan kejahatan-kejahatan untuk meraih kebenaran-kebenaran.

***

Kembali ke pertanyaan sang pelajar  “Betul bang, saya bingung, walau dilarang masih aja tetap gak jalan-jalan. Ini salahnya dimana sih?” Sulit memang untuk menjawab pertanyaan ini, namun saya mencoba untuk menjawabnya “Kesalahannya terletak pada diri kita sendiri yang tidak melihat berbagai aturan dan pelarangan sebagai momen penyadaran diri. Kita hanya melihat melulu sebagai menghindari dosa dan kesahalan, kekeliruan dan kejahatan, dan bukan sebagai momen perbaikan diri. Perempuan seharusnya tidak usah berkecil hati atas larangan-larangan tersebut, toh itu untuk kebaikannya dan kebaikan bersama. Demikian juga dengan laki-laki, seharusnya dapat mengendalikan diri demi kebaikannya sendiri dan juga kebaikan bersama. Juga para pembuat kebijakan harus memahami sungguh bahwa membuat kebijakan bukan untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan apalagi memangkas kejahatan, tetapi harus diyakini sungguh untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Baik di mata diri sendiri, sesama dan yang terpenting adalah Sang Pembuat Kebijakan Abadi”

Referensi Rujukan

Parlemen Rusia Dilarang Pakai Rok Mini

MOSKWA, KOMPAS.com — Anggota parlemen Rusia dan para pembantu mereka sebentar lagi harus mengikuti kode etik yang baru yang melarang pemakaian rok mini dan perilaku tidak bijak yang dapat merusak citra parlemen, kata sebuah laporan, Jumat (25/3/2011).

Kode etik itu akan berlaku bagi semua orang yang bekerja di State Duma, parlemen tingkat rendah Rusia, termasuk deputi dan staf mereka, kata harian Moskovsky Komsomolets sebagaimana dikutipThe Telegraph, akhir pekan lalu. Kode Etik tersebut merekomendasikan pakaian bergaya bisnis yang formal atau pakaian tradisional. Moskovsky menyindir bahwa kode etik baru itu bisa berarti berakhirnya era rok mini dan blus berpotongan rendah bagi banyak asisten anggota parlemen.

Ketika berbicara kepada satu sama lain, para anggota parlemen yang terhormat itu dituntut untuk menahan diri dari semua “kekasaran” dan “arogansi”. Pedoman perilaku itu disusun atas perintah komite antikorupsi presiden. Duma banyak dikecam karena perilaku buruk anggotanya, seperti sering debat kusir dengan suara bising atau malah berkelahi dalam ruang sidang.

 

Surati Pimpinan Perguruan Tinggi

Pemkab Larang Mahasiswi Bercelana Jeans ke Kampus

 

MEULABOH – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat melalui Dinas Syariat Islam (DSI) setempat telah menyurati para pimpinan perguruan tinggi di Meulaboh untuk tidak lagi mengizinkan mahasiswi dan dosen perempuan bercelana jin (jeans) atau berpakaian ketat saat berada di lingkungan kampus.

Surat permintaan itu disampaikan, kata Kepala DSI Aceh Barat, Drs M Nur Juned, kepada Serambi, Minggu (29/11), karena selama ini masih ada pimpinan perguruan tinggi di kabupaten itu yang belum melarang mahasiswi atau dosen perempuannya yang muslim menggunakan pakaian dan celana ketat, termasuk bercelana jin (celana panjang yang terbuat dari kain tebal dan kuat).

Menurut M Nur Juned, larangan bagi sivitas akademika perempuan berpakaian ketat dan bercelana jin itu sudah dipatuhi sejumlah pimpinan perguruan tinggi. “Tapi karena ada perguruan tinggi yang belum mematuhinya, sehingga perlu disurati,” ujar Nur Juned. Di Aceh Barat saat ini terdapat sejumlah perguruan tinggi. Di antaranya Universitas Teuku Umar (UTU), Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI), STKIP Bina Bangsa, STKIP Getsampena, Akademi Kebidanan, Akademi Keperawatan, dan kelas jauh sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) yang berbasis di Banda Aceh.

Namun, Nur Juned tidak merinci mana di antara perguruan tinggi tersebut yang sudah dan yang belum mematuhi imbauan untuk tidak mengenakan celana ketat dan celana jin tersebut. Dia ingatkan bahwa apabila larangan itu tidak diindahkan, maka terhitung 1 Januari 2010 akan diambil tindakan tegas terhadap para pelanggarnya. Akan dilakukan eksekusi langsung dengan cara menggunting celana ketat atau celana jin yang dipakai perempuan muslim bersangkutan, kemudian kepadanya diberikan rok gratis.

Nur Juned juga menyebutkan, pihaknya selain menyurati para pimpinan perguruan tinggi, juga sudah menyurati seluruh badan usaha swasta di Meulaboh. “Kita imbau agar pimpinan perusahaan swasta, sebagaimana diberlakukan untuk semua kepala dinas dan badan, untuk tidak lagi membiarkan pegawai atau karyawatinya berpakaian ketat dan bercelana jin di tempat kerja,” ujar Nur Juned.

Diakuinya bahwa peringatan yang disampaikan melalui surat itu merupakan bagian dari sosialisasi larangan pemakaian celana panjang dan celana jin bagi wanita muslim di seluruh Aceh Barat terhitung 1 Januari 2009. Larangan itu muncul atas prakarsa Bupati Aceh Barat, Ramli MS, setelah melakukan musyawarah dengan ulama setempat tahun lalu. (riz)