1418057i7h2go0ck5Baru pada malam ini setelah beberapa minggu menghilang, gerimis itu datang lagi. Ia tidak datang sendiri. Bersama halilintar dan mata petir. Ketiganya sehati, entah datang membawa rezeki atau entah sampaikan pesan sebelum seterusnya pergi.

Namun satu yang pasti, ketiganya, lebih-lebih gerimis memberi kesan yang berarti. Ia melukiskan sebuah puisi himne. Sebuah doa yang dipohonkan semesta yang hidup kepada Sang Pemberi.

Segenap semesta menengadah. Bangkit dari mati. Tumbuh dari sunyi. Kembang dari senyap. Bagaimana tidak mau dipuji, pada ketika gerimis itu kembali, ditabuh gelegar halilintar dengan kedipan mata petir tampak siluet kembang malam mekarkan mahkotanya. Sebelum-sebelumnya dia sembunyi.

Bulatan gerimis yang mengenai ujung kelopaknya menggelinding lalu jatuh. Jatuhnya bersama gugur daun tua  yang meletakkan tidurnya perlahan. Angin tidak meniupkan keduanya ke tengah arus air. Keduanya dibiarkan lelap di pangkal akar kembang. Berayun-ayun lalu diam. Berayun-ayun lagi, lalu diam lagi.

Terdegar pula gesekan ranting yang serupa menepuk riang. Kepakan kelelawar dan atau burung malam tiba-tiba dilepas lalu diam. Pun halau dendang katak mengubah malam jadi kian meriah, disela syair jangkrik yang memilih jauh lebih  melengking.

Di tempat terpisah, di akar batangan pohon beringin, sebarisan semut hitam berjejal-jejal luputkan diri. Mencari ruang-ruang samadi. Seperti aku, yang menatap sepi dari balik jendela kamar empat persegi. Aku tidak berpuisi, cukup diri mengangguk-angguk dalam hati. Bahwa semesta yang hidup itu simphoni.

Gerimis yang datang melukis malam ini, seperti sudah sedang diutus untuk memberi arti bahwa kehidupan itu masih berdenyut. Masih punya hati.

Lantas, seperti mengubah himne menjadi satir, aku menjadi benci setiap pada noda manusia yang dibuat siang-siang hari. Bahwa betapa bebalnya kehidupan ini jika kian hari kian tak pernah saling peduli. Ketika kehidupan saling patah mematah, cabut mencabut, iris mengiris, umpat mengumpat dan tebang menebang.

Padahal sejatinya setiap gerak semesta, sekalipun yang mati seperti batu sesungguhnya berdenyut. Saling memberi arti. Betapa manjanya mata petir mengedip. Betapa syahdunya gerimis menetas. Betapa gagahnya halilitar membangunkan semesta.

Dan aku, dari balik jendela, pada malam ketika gerimis itu kembali, hanya bisa berdoa dengan benci. Bahwa Tuhan seharusnya tidak usah memberi jika kehidupan tidak pernah mau peduli pada dirinya sendiri.