Kebahagiaan itu seperti akan segera sudah. Sesuatu yang mengganjal ruang dadanya tiba-tiba  menyeruak ke permukaan. Hatinya  gundah.  Alur  duka sepertinya mulai datang menggelombang.  Zahra menyadari itu, bahwa segala duka akan menghadangnya. Duri-duri kehidupan akan dilaluinya.

“Ya Allah…hanya Engkau yang  tahu tentang segala rahasia hidupku”  Zahra melepas keluh dengan harap.

Di depan pintu gerbang Zahra termangu. Ia menatap lekat rumahnya, sambil perlahan menanggalkan jilbabnya. Selalu seperti  itu, ia menyembunyikan dirinya dari perhatian keluarganya.  Ia tak hendak kakek dan neneknya mengetahui statusnya. Bahwa sudah hampir dua bulan ia menjadi muslimah.

“Di sini di rumah ini aku tak dapat menjalankan semuanya.  Aku mengalami secara perlahan kalau rumah ini bagai penjara”

Ia melangkahkan kakinya perlahan. Tapaknya  berat.  Ia seperti memasuki sebuah tempat yang tidak lagi memberikan kebahagiaan.  “Ya Allah…” Pintunya  dibukakan  perlahan. Penuh  hati-hati. Ia tidak hendak mengagetkan kakek dan neneknya yang sedang asyik bercengkarama di seberang taman. Selalu  seperti itu ketika hari menjelang senja. Jika bukan mengisahkan tentang keagungan budaya Tionghoa, maka yang diksahkan adalah tentang masa lalu mereka.

“Opa, oma, maafkan Zahra”

Zahra menaiki tangga, menuju kamarnya. Di atas tempat tidurnya yang rapi tertata, ia merebahkan raganya yang lelah. Dalam dadanya masih berkecamuk rasa yang belum tuntas dijawab.

“Ya Allah Ya Rabb…bagaimana aku harus jujur mengatakan tentang semuanya ini. Bagaimana aku harus jujur mengatakan kepada opa dan oma, juga kepada papa dan mama yang berada nun jauh di sana”

Zahra merenungkan semuanya. Ia berada dalam saat yang berat. Hendak ia mengatakan dengan terang kepada keluarganya, maka kehidupannya akan berantakan. Ia tidak hanya diumpat, tetapi juga dimarahai dan dibenci. Ia tidak hanya tidak diakui sebagai anggota keluarga, tetapi akan diusir dari keluarganya sebagai pecundang, pengkhianat dan anak durhaka.

“Oma opa, mama papa, aku sayang kalian semua. Aku mencintai kalian semua. Aku tak mau ninggalkan kalian semua” Mata Zahra berkaca.

Dari hati kecilnya yang paling dalam. Zahra sebenarnya takut. Rasanya ciut di hadapan keluarganya. kakeknya adalah seorang yang berpendirian keras. Biacaranya meledak-ledak. Kesehariannya memang tampak tidak mempedulikan keluarga. Kakeknya lebih setia mengurusi bunga dan taman, tetapi sesungguhnya dia adalah seorang kakek yang penyayang.

Kepada Zahra pun ia rela memberikan apa pun yang diminta, jika itu bertujuan untuk kuliah dan masa depan. Demikain juga dengan Neneknya. Neneknya adalah pribadi sabar dan penuh perhatian. Tidak banyak kata keluar dari mulutnya. Neneknya adalah seorang yang tenang. Tetapi senyum dan matanya memberikan kebahagiaan yang besar buat Zahra.

“Ya Allah….” Zahra benar-benar pasrah. Ia benar-benar berada dalam situasi yang sulit. “Mengapa aku harus melalui semuanya, ya Allah…berikan petunjuk-Mu ya Allah agar aku dapat mengatakannya semua. Ya Allah, apakah harus sekarang?”

Cemas, ragu dan takut kian berkecamuk. Kendatipun ia menyadari bahwa mengatakan semuanya secara jujur adalah tindakan yang berbahaya. Tetapi akan lebih berbahaya jika harus berlarut-larut dalam beban yang tak memberikannya jalan keluar.

“Ya Allah, aku tidak sanggup mengatakan semuanya sekarang. Aku tidak sanggup. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini. Aku takut dengan diriku sendiri…Ya Allah, berikan petunjuk-Mu”

Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Kemudian turun menyapu dinding-dindingnya. Matanya menatap sekelilingnya. Tak ada tanda yang memberikannya jalan keluar. Semuanya kaku, bisu dan sepi. Ia pejamkan mata. Meresapi semua tanya, menyelami segala segala cemas, mendalami seluruh takut. Ia memaknai pilihanya.

“Ya Allah, Zahra yakin dan percaya bahwa Engkau akan memberikan aku hidayah-Mu”

Sepenggal harap itu adalah doanya. Ia memanjatkan itu dengan air mata. Dengan penuh pasrah dari balik dada yang lapang dan tulus.

“Aku yakin Ya Allah, aku adalah Az-Zahra”

Perlahan ia membuka matanya. Kembali ia melepas pandang menyapu sekitar. Matanya memandang pigura-pigura dengan lukisan-lukisan masa lalunya yang penuh kenangan. Di kamarnya ia menyaksikan dunianya. Di kamarnya ia menuliskan sejarah hidupnya. Dari dan dalam kamar segala cerita ada setiap harinya bermula, tidak hanya tentang kisah-kisah bahagia, tetai juga tentang cerita-cerita duka.

Pandangannya tiba-tiba berhenti di atas meja belajarnya. “Azam”. Ia menatap lekat ke arah bingkai perak itu. Senyum Azam seperti memberikannya tanda. Memberikannya jalan keluar. Memanggilnya untuk membagi beban.