Setiap hendak yang terlepas dengan sengaja, yang dibiarkan liat mengalir dari kedalaman kalbu tidak akan pernah menguatkan jejak. Kita meng-kata-nya sebagai salah, meng-omong-nya sebagai konyol, mem-bilang-nya sebagai sial, menyebutnya sebagai ‘dosa’. Salah, konyol, sial dan ‘dosa’ itu adalah lapisan ketak-ber-daya-an yang sadar.

Setiap hendak yang terlepas dengan sengaja, yang dibiarkan liat mengalir dari kedalaman kalbu tidak akan pernah tegak-kan jiwa. Sekalipun, mencoba memungutnya dengan harap, atau kembali merengkuhnya dengan doa walau dalam simpuh debu hingga lepuh. Kita tak kuasa.

Kehidupan yang dicoba-bangun akan selalu runtuh, jika tidak, maka akan terbentuk serupa bejana retak. Pun, akan serupa kepingan kapur rapuh yang dibiarkan berulang dihujam basah hujan, dilalap panas.

Mengapa sebab? Jawabannya adalah sepatah kata ini: Patah Kata. Apatah itu? Jawabannya adalah sederetan kata ini: Kita tidak pernah menghargai kehidupan sebagai (semacam) lautan tulisan yang di dalamnya ber-lintang kedak tema. Dan di lintang kedak tema yang bagai tak terurai itu, kita adalah satu dari sekian kata yang tak sanggup menjelaskan maknanya.

Patah Kata adalah kata yang retak, lantaran ditikam berulang oleh hendak yang melampaui kehendak. Pun lantaran disobek selalu oleh hasrat yang melampaui kesadaran. Kita menjadi serupa kata salah kaprah, sebuah kata yang sebenarnya ‘salah’ namun dilazimkan sebagai kebenaran, sekalipun sejatinya kita memahami bahwa kebenaran yang ‘dicuap’ adalah salah.

Inilah yang dalam kehidupan dimaknai sebagai ‘hendak yang terlepas dengan sengaja’. Sebagai kerapuhan, kelemahan pun pula sebagai ‘dosa’. Lantaran kita tidak kuasa menjelaskan siapa kita, memberi makna atas keber-ada-an kita sekalipun kita hadir dan ada dalam kehidupan. Persis seperti kata hampa makna, walau sejatinya setiap kata itu (seharusnya) bermakna.

Padahal, hakikatnya, kehidupan itu serupa mengarungi frasa demi frasa yang pada setiap peristiwa mencoba ber-parafrasa. Sebuah proses dimana, kita tidak hanya memahami tetapi juga turut larut dalam kata yang pada setiap langkah-nya mencoba untuk menjelaskan hakikat dirinya dalam kehidupan. Proses kehidupan itu adalah metanoia diri. Pertobotan yang berulang. Yang tentang kata disebut-jelas sebagai makna.

“Sebuah proses menjadi diri sendiri yang rapuh meruntuhkan kalbu, melemahkan jejak. Sebuah prises pemkanaan atas kata yang luncas, meremukkan makanya, patah kata”