blog 0Sore hari itu, di ujung bulan Juli. Angin jatuh yang meniup sepanjang lereng Laktutus sesekali singgah di Tubaki, lepaskan hawa kering yang dingin. Siapa pun pendatang baru harus merapatkan dua bilah tangannya, menggosokkan dengan cepat untuk hadirkan hangat.

Namun tidak buat Mama Kristina Rahu. Dua tangannya lincah menari di atas rentangan benang. Sesekali meluruskan benang lungsin yang tampak mengendur, sesekali pula melesakkan benang pakan. Lalu dengan dua tangannya, ibu beranak empat ini melanjutkan tenun.

Angin dingin pun berlari lalu, sebelum membentur benang sisah yang menggelantung di kepala pemidang. “Kami di sini sudah biasa, apalagi kalau sudah naik tenun, kami sudah tidak rasa dingin lagi’’ kisahnya sambil terus mengayun bilah perapat.

Tampak sejengkal yang mulai jadi menampilkan motif ikan bercorak kecil dengan paduan warna kuning dan hitam. Di atas rentang benang yang masih panjang terurai itu tampaknya akan terpola motif ikan baris berbaris berenang entah sampai nanti.

Kampung Tenun Tubaki   

Tubaki adalah salah satu kampung dari sekian kampung yang menyebar di empat desa sekecamatan Nanaet Dua Besi, Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung yang dibagi menjadi dua dusun ini masuk dalam wilayah desa Dubesi.

Lantaran terletak di lereng gunung Laktutus. Kampung yang berjarak tiga puluh lima kilometer dari kota Kabupaten (Atambua) ini selalu disapu angin jatuh yang dingin dan kering. Rumah-rumah penduduknya terbentang sepanjang jalan desa. Dan sebagaimana halnya kampung pada umumnya, Tubaki tampak sepi.

Namun demikian, kampung yang berpenghuni seratus tiga puluh enam kepala keluarga ini memiliki Keistimewaan tersendiri.  Keistimewaannya adalah lantaran pekerjaan utama kaum perempuan sebagai penenun. ‘’pekerjaan utama perempuan di sini adalah menenun, tidak ada yang lain’’ jelas Mama Kristin. ‘’anak-anak perempuan yang masih sekolah dasar pun kami sudah ajar untuk menenun’’.

Blog 1

Martabat Perempuan

Ada banyak alasan yang melatari mengapa kaum perempuan Tubaki memilih menenun sebagai pekerjaan utama dan bukan pekerjaan sampingan atau pengisi waktu luang di tengah kesibukan sebagai peladang atau petani.

Dua alasan yang paling menguat adalah faktor geografis dan tradisi. Secara geografis, kampung-kampung di lereng Laktutus, termasuk Tubaki tidak memungkinkan untuk mengembangkan sektor pertanian. Padang rumput yang luas  dengan curah hujan yang rendah lebih memungkinkan mereka untuk memilih menjadi peternak.

Menenun juga merupakan tradisi kaum perempuan Tubaki. ‘’Di sini, perempuan harus tahu menenun. Kalau tidak tahu menenun, itu bukan namanya perempuan’’ aku mama Kristin lebih lanjut.

Bahwa menenun selain sebagai pekerjaan juga merupakan identitas diri sekaligus penegasan akan martabat kaum perempuan. ‘’para pemuda yang ada di kampung akan sulit meminang kaum perempuan yang tidak tahu menenun’’ kata mama Kristin lebih lanjut.

Sehingga ada timbul rasa malu dan risih jika sampai tidak bisa menenun.  Bukan hanya malu di hadapan kaum lelaki, dan atau risih di tengah relasi dan pergaulan. Tetapi juga malu dan risih pada tradisi dan pewarisan. Kaum perempuan Tubaki merasa berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meneruskan tradisi menenun.

 ‘’Kepada anak cucu kita, kita mau beri apa yang paling baik di sini kalau kita tidak mengajar mereka dengan menenun?’’ tegas mama Kristin dengan tanya.

Berliku Nuk

Namun demikian tidak semua motif tenun diajarkan dengan cara menunjuk secara bertahap. Kebanyakan tenun jenis foit atau sotis/songket di ajarkan oleh kaum perempuan Tubaki kepada anak-anak mereka dengan cara menunjuk bertahap. Demikian juga dengan cara pengikatan benang untuk membentuk pola-pola motif tertentu seperti motif ikan, ai funan (bunga), rawa nanatak (kuku kera) untuk tenunan jenis futus. ‘’Tapi untuk motif Barliku Nuk itu pemali’’ jelas mama Kristin.

Barliku Nuk (sarang burung) adalah salah satu corak motif yang khas pada tenunan jenis Talik. Bagi kaum perempuan Tubaki, cara memahami dan mengetahui bagaimana membangun motif Barliku Nuk pada tenunan jenis Talik dilakukan hanya dengan mengamati tanpa menunjuk dengan jari apalagi mengeluarkan dengan kata-kata.

Sudah sejak kecil, anak-anak diajarkan untuk mengamati ibu atau kakak perempuan mereka menenun. Selanjutnya mencerna sendiri dan mempraktikkannya. Jika dalam praktiknya menemukan jalan buntu, anak-anak kembali mengamati. ‘’memang ini pemali, tetapi anak-anak dibantu juga untuk berpikir sendiri, terus belajar sendiri’’

Melampaui dari sekedar mengamati dan berlatih membangun imaji, belajar mengetahui merangkai benang bermotif Barliku Nuk juga adalah belajar mandiri, pun menjadi diri sendiri dan menjadi perempuan yang sesungguhnya. Inilah salah satu faktor yang mendorong kaum perempuan Tubaki tidak kehilangan penerus. Lantaran setiap dari mereka, sudah sejak kecil dididik untuk membangun sikap tanggung jawab menjaga tradisi dan identitas keber-ada-an mereka.

blog 2

Terus Berenang

Seperti ikan yang terus berenang bermain tanpa henti, cita-cita kaum perempuan Tubaki pun demikian dengan pekerjaan dan tradisi mereka. “Jika tenun hilang bagaimana kami mau tetap hidup dan ongkos anak-anak kami sekolah” tegas mama Kristin.

Kisah mama Kristin lebih lanjut, bahwa mereka dapat menyelesaikan lembaran sarung tenun ikat jenis futus sebanyak empat lembar dalam sebulan. Dengan rata-rata nilai jual berkisar antara dua ratus ribu sampai dengan dua ratus lima puluh ribu rupiah, maka penghasilan rata-rata kaum perempuan Tubaki mencapai satu juta rupiah perbulan.

“Dan kami pun beruntung bahwa kami tidak kehilangan pembeli. Sudah banyak orang yang tau tentang tenun Tubaki. Jadi kami sudah punya banyak pelanggan. Kalau pun pelanggannya tidak datang ke sini karena terlalu jau dan jalan jelek, maka kami sendiri yang pergi menjualnya sampai ke Alas di perbatasan timor leste, dan itu bapa-bapa punya urusan”. Jelas mama Kristin menutup cerita.