Tidak ada pekerjaan yang paling membahagiakan selain menulis. Menulis tentang apa saja, termasuk menulis sesuatu yang seharusnya tidak perlu untuk ditulis. Tentang orang-orang, benda-benda, malam, siang, kaki, akar, mimpi basah dan seterusnya. Termasuk menulis dengan gaya tulisan apa saja, termasuk dengan gaya penulisan yang aku sendiri tidak mengerti untuk disebutkan sebagai bergaya apa. Sampai suatu ketika, seorang sahabat bertanya apa gaya tulisan favoritmu, sumpah, aku bingung menjawabnya, sehingga dengan spontan aku menjawab saja ‘aku suka gaya dogy style dan atau 69

Dia terperanjat. Dia merapatkan matanya kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Bukankah itu gaya adegan dalam film esek-esek? Tanyanya. Aku pun akhirnya terpingkal-pingkal juga, karena merasa lucu dengan jawabanku sendiri. Namun kemudian aku menjelaskan bahwa ‘menulis adalah juga merupakan persentuhan yang intim dengan sesuatu, dengan peristiwa-peristiwa, orang-orang, benda-benda dan keadaan-keadaan. Menyentuh-intim semua hal itu akan melahirkan kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata. Kau menyebutnya sebagai orgasme ketika menonton-peragakan dogy style dan atau 69, tetapi bagiku melampaui itu adalah pembebasan dan doa’

***

Jujur saja, sampai hari ini, setelah kembali membaca tulisan-tulisanku di blog ini, aku tidak dapat menyimpulkan sebenarnya sudah sedang menulis dengan menggunakan ‘gaya penulisan apa’ dan apalagi tentang ‘apa yang aku tulis’. Aku menulis tentang apa saja, dengan gaya penulisan yang menurutku nyaman untuk ditulis. Kadang aku bercerita, kadang aku berpuisi, kadang aku ber-sok akademisi, penyair, sastrawan dan seterusnya, sampai kadang aku sendiri tidak tahu apa-apa.

Namun demikian, apa pun bentuk tulisan yang kutulis, dan apa pun tema tulisannya membawa banyak manfaat dalam lingkup kehidupanku sebagai subjek yang otonom, sebagai pribadi. Dalam kesempatan ini aku cukup diri menyebut beberapa manfaat yang paling berpengaruh terhadap perkembangan pribadi sampai sejauh ini. Yakni  pertama, menulis itu membebaskan. Hanya dengan menulis aku dapat keluar dari diri sendiri. Aku keluar melepaskan diri dari beban pikiran, melepaskan diri dari ‘kemumetan’ situasi yang membelenggu, melepaskan diri dari ‘kementokan’ pencarian alternatif refleksi, bahkan sekaligus melepaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan diri sebagai seorang manusia biasa. Menulis dengan demikian serupa bercermin diri.

Ketika sudah sedang stress, aku menulis tentang stress. Ketika sudah sedang sakit, aku menulis tentang sakit. Ketika sudah sedang jatuh cinta aku akan menulis tentang cinta. Ketika sudah sedang bingung aku akan menulis tentang bingung. Ketika  menulis tentang mimpi basah atau melihat perempuan haid, aku akan menulis tentang itu. Menulis bagiku tidak hanya membebaskan diri dari keterbatasan dan belenggu, tetapi dengan demikian melepaskan diri dari sakit dan itu menyembuhkan. Itulah poin kedua, menulis itu menyembuhkan.

Ketiga, menulis itu menemukan. Ketika aku menulis entah tentang apa, aku adalah raja, penguasa dan dan bahkan penemu atas sesuatu itu. Aku tidak hanya menjadi penguasa atas imaji-imajiku sendiri tentang sesuatu, atau penguasa atas peristiwa-peristiwa yang sudah terekam dalam kepala, tetapi juga penemu yang dapat dengan ‘seenak perut’ menetaskannya dalam tulisan entah sebagai apa dan dalam bentuk serupa apa. Sehingga ketika temuan itu terbaca dalam sebuah tulisan yang bergaya entah, aku merasakan sudah menemukan sebuah pencapaian atas sesuatu itu.

Keempat, menulis itu sebuah petualangan dan perjalanan yang mengasyikkan. Ya, seperti berjalan melampaui ribuan mil jauhnya. Melewati pulau-pulau, laut dan selat, hutan dan gunung, siang dan malam, bahkan sampai-sampai menembus batas ruang dan waktu. Dalam dan dengan menulis aku menemukan  semuanya dan membangun komunikasi dengannya. Padahal hanya dalam kata aku bertualang, dalam rimba kalimat aku terjebak dan dalam samudera paragraf daya terdampar. Kemudian dari atas bukit aku menulis ‘Oh, haleluya’

Kelima, menulis itu berdoa. Dalam dan melalui menulis aku berdoa. Dan bahkan aku berpikir dengan menulis aku sesungguhnya sedang berdoa. Menulis adalah penyatuanku dengan Dia. Proses penyatuan itu adalah  sebagaimana yang diajarkan Budha Gautama, mengosongkan diri. Bahwa di hadapan Tuhan kita bukan siapa-siapa selain sesuatu yang kosong-hampa. Menulis adalah adalah menunduk dan menuliskan ‘sesuatu di atas tanah’ seperti yang diajarkan Yesus. Kita tidak tahu Yesus menulis tentang apa di atas tanah, tetapi bayanganku Yesus menulis tentang semua, tentang segala, sehingga membuat orang di sekitarnya mengerti kemudian pergi meninggalkannya satu persatu dari yang tertua sampai yang muda. Mereka pergi bukan karena membenci, tetapi pergi untuk berbuat seperti yang ditulis Yesus di atas tanah, yang entah tentang apa. Aku kadang menulis sebagai yang dikatakan Nabi Muhammad, ‘bacalah’. Bagiku menulis adalah membaca yang berulang, dalam kesaksian-kesaksian. Demikianlah, menulis bagiku adalah berdoa. Dan dalam dan melalui menulis aku berdoa.

***

Sampai pada tahap itu, aku kadang membayangkan makna dan gaya penulisan bergaya ‘dogy style’ dan ‘69’ dan atau apa pun gayanya sampai sekalipun tak bergaya apa-apa bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan yang menyasyikkan, membahagiakan dan sangat bermartabat. Tidak menulis dengan demikian adalah pengabaian atas proses pembebasan, refleksi dan martabat manusia kita di hadapan alam, manusia dan Tuhan. Akhirullkalam, semua yang tercatat di sini adalah kata-kalimatku, dan aku tidak tahu apa kata-kalimatmu.