Malam itu situasi bathin Sarah begitu tenang. Tak ada bimbang yang terlukis di wajahnya. Pada setiap senyumnya yang merekah, terbit kepastian dan keyakinan. Ia sudah memutuskan. Dan itu sulit baginya untuk berubah. Hanya alam dan Tuhan yang bisa mengguncangnya.

“Aku sangat bahagia” gumamnya.

Hati dan jiwanya pun tenang. Sebuah situasi yang tak pernah dialaminya selama empat bulang berselang. Segala duka bagai tiada. Dan derita pun menghilang. Malam itu ia menjadi perempuan berbahagia. Keindahan, keanggunan dan kejelitaan hadir begitu dekat dan nyata.

“Subahanaallah” sepenggal pujian itu ia panjatkan.

Malam beranjak kian larut. Perlahan ia membuka jendela kamar. Terali yang dilapisi furing putih disibaknya. Di bingkai jendela ia tengadahkan wajah. Pandangannya lepas melayang ke langit terjauh. Menyapa sinar bintang-bintang. Mengucap salam kepada sinar purnama.

“Hanya Tuhan dan alam yang tahu segala rahasia kehidupanku” Sarah melepas kata-kata itu bagai melepas sajak. Seperti itu pada bulan-bulan yang silam, Sarah melantunkan sajak-sajak indah. Bukan kepada siapa tetapi kepada alam.

“Sinar purnama…masih kuingat di bawah terangmu, bersama Azam kami lantunkan kejujuran cinta. Kami se-ia sekata dalam setia untuk mempertahankannya dan tulus untuk merawatnya”

“Di bawah terangmu, masih kuingat, Azam melepas cintanya pada bening keningku. Ia melepas dengan rasa. Bening keningku terasa sejuk hingga sukma. Bagiku, itu adalah peristiwa terindah. Ungkapan yang jujur dan tulus dari cinta”

“Di bawah terangmu, masih pula kuingat, aku melepas cintaku pada genggaman tangannya. Ketika itu, dengan rasa dan juga dengan hati kugenggamkan biji tasbih. Kuletakkan pada genggam tangannya sebagai ungkapan kesetiaan. Bagiku, itu adalah peristiwa terindah”

“Sinar purnama…kau tak selamanya cerah. Karena pada saatnya gulita menyelimuti langit malam. Persis ketika wajahmu terbenam dalam gelap. Bersama redup terangmu, aku pun tenggelam dalam duka yang panjang. Hari-hariku kian kelam. Rasaku hancur luluh. Cintaku terombang-ambing. Ketulusanku kian luntur”

“Mengapa tidak? Azam membiarkan aku berjalan sendiri dalam rimba kehidupan yang getir. Membiarkan aku berjalan sendiri menjawab selaksa pertanyaan yang sulit kutampung jawabannya”

Angin malam meraba bening wajahnya. Memberi kesejukan. Memainkan rambutnya yang jatuh tergerai. Seperti mengajaknya terbang.

“Namun, aku yakin…dalam redup terangmu, aku masih punya cinta untuk kehidupan. Aku masih punya setia untuk siang dan malam. Aku masih punya Tuhan dan aku masih punya kau yang setia menjadi saksiku”

Sarah masih mematung di tengah jendela. Pandangannya masih melayang jauh ke sinar bulan. Wajahnya cerah. Senyumnya merekah.

Itulah malam terindah baginya. Malam yang tak terkisahkan dengan kata. Malam pelepasan tuntas atas segala luka. Dan membiarkan dirinya hampa di tangan Allah.

“Ya Allah…Ya Rabb…perjumpaanku dengan Azam adalah awal kisahku mengenal-Mu. Namun malam ini, bukan karenanya aku menengadah kepada-Mu. Dari hati kecilku yang paling tulus, aku memilih jalan ini sungguh karena ridho-Mu”

“Ya Allah…Ya Rabb…tuntunlah aku setiap dan selalu pada hari-hariku, karena aku tahu Engkaulah kekasih sejatiku”

“Ya Allah..Ya Rabb…di bawah terang purnama yang sama, kuucapkan janji setia bahwa aku bersedia memilih jalan-Mu. Jalan kebahagiaan yang sudah Kau tunjukkan dalam dan melalui Nabi Muhammad”

“Melalui jalan itu, kuyakin akan meniti hari-hari hidupku. Kutahu akan ada air mata, akan ada duka, tetapi akan muncul pula suka cita dan cinta. Semuanya hanya Engkau yang tahu”

Sarah terdiam beberapa saat. Matanya tetap memandang ke langit lepas. Purnama masih bercahaya, seperti mendengar segala harap dan doa yang terpanjat. Ia menutup jendela. Menarik terali kain jendela yang dilapisi furing berenda. Kemudian berjalan perlahan menuju ranjang. Melepas raganya yang jelita.

Namun, bukan untuk pejamkan mata. Karena subuh sebentar lagi datang. Sarah hanya melepaskan kebahagiaannyas. Setelah sepanjang malam bercerita di bawah purnama sambil panjatkan doa kepada Allah.