Dalam hidup ini tidak dapat dipungkiri bahwa kita akan bersentuhan dengan banyak orang dan banyak peristiwa. Persentuhan dan atau perjumpaan, yang dapat diringkas menjadi pengalaman, dengan beragam orang dan peristiwa itu merupakan suatu keharusan, lantaran terjadi secara alamiah dan tidak ada seorang pun dari kita yang dapat membantahnya.

Namun kadang, ada yang membuat kita lupa (sebagian orang kadang memahami ini sebagai bentuk dari kelupaan yang baik) bahwa dalam perjumpaan-perjumpaan itu kita terjebak dan bahkan disandera oleh sesuatu yang lain, entah bayang-bayang tertentu, figur-figur tertentu dan atau idola-idola tertentu. Kita bahkan larut dan merasa nyaman di dalamnya sehingga menjadikan seolah-olah gambaran itu sebagai sesungguhnya kita. Kita bahkan sampai tidak menyadari diri bahwa kita seharusnya menjadi diri sendiri. Sebaliknya menjadi orang lain dengan menjadikan diri kita sendiri sekedar sebagai alat.

Dalam situasi penyaderaan yang nyaman itu, kita seringkali di hadapkan pada pilihan, pertama adalah apakah kita akan tetap berada pada bayang-bayang akan sesuatu yang lain atau kembali untuk menjadi diri sendiri. Dua pilihan ini bukan tanpa resiko.

“Perjalanan yang paling panjang dan melelahkan adalah ketika setiap kita berusaha untuk keluar dari diri kita sendiri dan pergi ke puncak-puncak refleksi. Di sana kita melihatnya kembali  dan bertanya ‘siapakah saya?’ kemudian kembali membawa jawaban untuk selanjutnya menjadi diri sendiri”

Pertama, jika kita hendak tetap berada dalam baying-bayang sesuatu yang lain, sudah barang tentu kita tidak akan pernah mau kembali menjadi diri sendiri, sebaliknya terus memeluk bayang-bayang itu. Kita akan menemukan kenyamanan-kenyamanan yang lebih. Sehingga kesempatan untuk mengoreksi diri, mengintospeksi diri, dan bahkan menjadi diri sendiri menjadi tertutup. Pada pilihan ini, siapa sesungguhnya kita adalah sesuatu yang lain, sekalipun kita tahu bahwa sesuatu itu bukanlah diri kita yang sebenarnya, yang otentik.

Namun ada sebagian yang lain dari kita yang berusaha untuk mencari kesendirian dan keheningan, untuk tidak sekedar melepas penat, tetapi juga merefleksikan siapa sesungguhnya kita di hadapan kita sendiri sebagai pribadi. Pilihan inilah sebuah pilihan yang juga sulit dan bukan tanpa resiko. Resiko terbesar yang mesti diambil adalah melepaskan kesenangan dan kenyamanan bayang-bayang akan sesuatu yang lain. Kemudian larut dan suluk dalam segala kelemahan dan kelebihan diri sendiri.

Inilah yang disebut sebagai sebuah perjalanan kembali. Sebuah perjalanan yang paling panjang dan melelahkan.  Karena selain harus dilakukan selalu dan setiap saat, kita pun harus menerima segala kelebihan dan kelemahan diri kita sendiri. Di atas kelemahan dan kelebihan itulah kita membangun diri kita yang sesungguhnya, membangun diri yang otentik.