Merah dalam makna positif berarti cinta, energi, kuasa, kekuatan, penderitaan, panas. Sementara secara negatif dimaknai sebagai kemarahan, bahaya, peringatan, ketidaksabaran

Kuawali kisah kata tentang warna dengan sepengal tanya: Apakah itu warnaku? Sudah berulang aku mencari di relung-relung hati, di seluk-beluk bilik, di lintasan lingkaran pelangi, dan bukan tidak mungkin akan sampai di balik mati. Apakah itu warnaku? Akan menjadi pertanyaan besar yang tidak akan dijawab tuntas. Pun, kalau sampai kutemukan jawabannya, itu pun, mungkin baru berupa kesan, bukan fakta. Tentang warna, aku percaya, tak ada fakta, karena hanya sebatas corak.

Apa warna kesukaanmu? Spontan kau menjawab lantang sambil mengacungkan jari tangan: merah, jingga, hijau, kuning, biru, abu-abu, dan atau putih, dan seterusnya. Bagiku pertanyaan itu masih terlalu mudah untuk dijawab. Sebagai sebuah langkah awal dalam memahami arti sesungguhnya warna, kita memakluminya. Tetapi, ketika kita sampai pada pertanyaan ”apakah itu warnaku?”, ”yakinkah engkau dengan pilihan itu?” ”Dan atas dasar apa anda mimilihnya” maka bagai dihujam sebiji tinju, kita terhenyak sampai kepada diam.

Di sana, di ruang diam, warna sebagaimana yang aku dan kau suka, berlalu lepas dan lenyap. Dalam diam yang bergelora pinta jawaban adalah pemaknaan tentang sejatinya warna. Sengaja aku melepas pertanyaan itu untuk mengatakan bahwa yang sedang kita kisahkan tentang warna, bukan hanya sebatas itu. Bukan hanya sebatas suka tidak suka, tetapi tentang sesuatu yang melampauinya. Tentang sebuah pilihan, sebuah prinsip dalam pencarian.

Tentang warna, aku dan kau selalu memburu. Di antara sekian warna tertabur aku dan juga kau serupa bersteru dengan waktu. “Jika menemukan magenta, berikan aku warna itu”. Pernah kau dan juga aku memburu permintaan itu, walau hingga kita uzur, tak kita temukan di mana dan serupa apa warna itu. Aku sejenak terdiam. Kaukah magenta? Dan atau akukah magenta? Aku bertanya selepas penat. Duduk dipersimpangan, serupa antara neraka dan surga.