Dalam situasi Indonesia yang sudah sedang didera banyak masalah, izinkan saya untuk berbicara dan berpikir realistis. Bahwa, bukan saatnya kita berbicara mana agama yang pantas dan tidak pantas di hadapan Allah. Mana pribadi-pribadi yang layak disebut anak-anak Allah dan mana yang tidak. Mana sekumpulan orang yang pantas mendiami surga dan mana yang tidak.

Tidak pada konteksnya kita membicarakan tentang itu semua, apalagi meributkannya jika kita berkaca pada situasi riil kehidupan berbangsa dan bernegera yang penuh sesak dengan sampah masalah.

Kembalikan Allah ke dalam hati. Itu pesan penting pertama dan paling realistis, jika hendak berkaca pada fakta keindonesiaan kita sementara ini. Tentang relasi manusia dengan Allah adalah sesungguhnya relasi yang personal. Allah hadir dan ada di dalam dada, dalam keyakinan dan dalam iman. Menemukan Allah dalam dan melalui agama yang menurut kita benar adalah dengan semakin kita mengalami-Nya sungguh dalam perjalan dan ziarah diri. Pertobatan pribadi. Metanoia diri.

Lantaran itu jangan pernah membawa Allah ke tengah pasar selanjutnya dipajang, apalagi ditawar dan diperdagangkan. Allah jangan pernah di bawah ke ruang publik untuk dipersanding-bandingkan. Bukan di sana letaknya Allah berada. Jika hendak memperbincangkan Tuhan di ruang public, di pasar maka yang diperjumpakan adalah  sikap dan tutur kata kita setelah kita mengalami-Nya. Bukan Allah itu apa yang kita perjumpakan di tengah pasar, tetapi Allah yang bagaimana dan mengapa.

Pesan penting kedua dan paling realistis jika berkaca pada setuasi Indonesia sementara ini adalah kendalikan diri, ambil jarak dan temukan akar masalah atas semua persoalan yang sudah sedang terjadi menimpa bangsa kita. Bukan saatnya kita saling melempar tanggung jawab. Bukan saatnya kita saling salah mempersalahkan, selanjutya melabelkan siapa kambing hitam, kerbau bengal, babi ngepet dan bangsat. Bukan itu. Tenang dan sabar. Itu saja. Tenang artinya kita harus berjiwa besar menerima kekuarangan-kekurangan, mengoreksi kesalahan-kesalahan. Salah katakan salah, kurang katakan kurang, tidak mampu katakan tidak mampu. Agar dengan demikian kita dapat mencermati dan mengurai segala soal dengan baik.

Untuk itu yang kita butuhkan adalah kebersamaan dan kesabaran. Bangsa ini tidak sedang didera oleh hanya satu masalah. Kita sudah sedang dihadapkan dengan banyak soal yang tidak ringan. Dari kemiskinan sampai korupsi, dari ketidakberesan system kenegaraan sampai ke soal drainase pertanian, dari musim yang tidak menentu sampai bencana alam yang kian rutin berkunjung, dari ketidakpeduliaan elite politik sampai pada apatisme warga bangsa atas Negara, dari ketidakpastian hukum di bumi sampai pada ketidakbecusan iman kepada Allah. Indonesia sebagai bangsa dan Negara sudah sedang dihadapkan dengan soal-soal ini. Semuanya pelik dan rumit. Jadi, sabarlah. Biarkan kita mengurainya secara bersama dan dalam kebersamaan satu demi satu dengan tenang.

Sampai kapan kita harus sabar? Tidak ada jawaban untuk ini. Baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu komunitas yang disebut warga bangsa sesungguhnya mengajukan pertanyaan ini adalah sebuah kesalahan yang fatal. Baik kehidupan pribadi maupun sebagai sebuah komunitas, berbenah diri, memperbaiki system, berubah menjadi baik dan terbaik adalah sebuah proses yang tidak pernah sudah. Memperbaiki diri pribadi maupun tubuh social adalah perbuatan yang berulang dan selalu. Selama kita masih hidup dan ada, selama Negara itu masih ada dan hidup, selama itu pula kita berproses untuk menjadi baik.

Itulah dua pesan penting yang pantas untuk disuarakan. Namun jika kita sebagai pribadi dan bangsa masih meributkan Allah dan sederetan masalah yang lain dengan marah dan gundah, menuntaskannya dengan gegabah dan tergesa-gesa selanjutnya menonjolkan diri sebagai yang paling benar bukan tidak mungkin bangsa ini akan selalu menitihkan air mata. Bukankah kita tidak hendak disebut sebagai pribadi pecundang yang berada dalam sebuah Negara yang gagal?