“Karena hidup itu telanjang. Badan telanjang itu adalah lambang kehidupan yang paling sejati dan paling mulia. Kalau aku menggambar gunung berbentuk setumpuk badan manusia atau menulis air terjun berupa badan-badan manusia yang berjatuhan, maka itu tidak lain karena aku melihat gunung sebagai himpunan benda hidup, dan air terjun sebagai pemicu arus kehiduban”

Tiga tubuh telanjang dengan wajah tertunduk melepaskan cengkraman nasibnya. Mereka memasuki alam tanpa batas dengan telanjang. Pada momen yang lain, tampak lima tubuh telanjang menari riang dalam keasliannya, sedang jasad terkubur tenang di di bawah nisan.

Tubuh telanjang yang lain menampakkan keelokannya. Montok dadanya menantang rasa. Matanya dibiarkan setengah terpejam dengan bibir yang setengah merekah. Tangannya menyanggul rambut terurai, tampak jenjang lehernya yang memesona. Inilah Autum, musim gugur.

Tubuh-tubuh telanjang adalah warna lukisan dan sketsa Kahlil Gibran. Seperti hendak keluar dari kemapanan, Gibran melejitkan rasa yang sulit untuk dilukiskan dalam sepenggal kata. Kekaguman yang menghentak ruang rasa memberi warna bahwa lukisan Gibran tidak dapat ditafsirkan tanpa kehatian-hatian cara pandang. Antara mistis dan abstrak, antara moralitas dan filsafat melebur kental dalam lukisan dan sketsa-sketsanya.

Suatu ketika, Marry Haskell, wanita yang sangat mengagumi Gibran dan dengan diam-diam juga mencintainya, bertanya kepadanya mengapa harus selalu melukis dengan latar tubuh-tubuh telanjang.

“Karena hidup itu telanjang. Badan telanjang itu adalah lambang kehidupan yang paling sejati dan paling mulia. Kalau aku menggambar gunung berbentuk setumpuk badan manusia atau menulis air terjun berupa badan-badan manusia yang berjatuhan, maka itu tidak lain karena aku melihat gunung sebagai himpunan benda hidup, dan air terjun sebagai pemicu arus kehiduban”

Jawaban Gibran di atas menyiratkan beberapa hal. Pertama, lukisannya mengatakan tentang realitas kehidupan. Kedua, kehidupan itu adalah telanjang, polos dan suci. Ketiga, kesucian itu mengisyaratkan kedekatan manusia dengan sang Pencipta. Keempat, kehidupan itu harus dijaga dan dirawat. Kelima, segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah makluk hidup, yang semuanya sedang berziarah menuju sang Pencipta.

Itulah kehidupan, melalui tubuh-tubuh telanjang kita dapat bercermin ‘muka’ bahwa kehidupan sesungguhnya adalah mulia. Mengapa kita harus berdusta?

Menutup tulisan kecil ini, saya mengutip sepenggal pernyataan dari Prof. Mudji Sutrisno “Dalam estetika tubuh dengan nakedness atau telanjang bugil, penonjolan erotika, perangsangan sensual birahi yang merangsang pemirsa ditampilkan vulgar. Maka karya seni dengan estetika nakedness dinilai rendah dengan alasan belum diendapkan oleh senimannya untuk ditampilkan dengan “hening reflektif”…sedangkan estetika tubuh nudity atau kepolosan telanjang sudah lewat pengendapan si seniman dan pengheningan nuansa reflektif sehingga tampil polos sama seperti bayi-bayi lahir telanjang polos dan kita semua pernah mempunyai foto-foto semasa bayi polos telanjang” (Mudji Sutrisno, “Estetika Tubuh”, artikel dalam Kompas, minggu 30 Oktober 2005, hal 27).

Keterangan: Sebagian besar lukisan gibran menjadi ilustrasi tulisannya, baik puisi, prosa mapun novel. Selengkapnya bisa melihat lukisan-lukisan Gibran ada di www.arab2.com atau www.kahlil.org. Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=4077