Kutu buku melumat semua, melumat segala. Si buncit kecil itu, tidak memandang serupa apa isi buku, seberapa dalam analisis kata dan kalimat, pun siapa penulisnya. Dia tidak mengenal setumpuk buku di perpustakaanmu adalah sastra ata picisan, filsafat atau bukan. Semua buku yang ditumpuk, baginya adalah rumah dan ‘roti kehidupan’.

Kutu buku itu seperti penyair. Ia bekerja dalam gelap, dalam malam. Matanya benderang memandang suasana, menyimak situasi. Ketika berisik mendekat, ia mendekam di balik-balik halaman. Ketika semuanya pulas, ia bangunkan diri, menancapkan kuku-kukunya, menjulurkan taring-taringnya. Serupa itu penyair. Pada siang berisik mereka mendakam dalam senyap, dan pada malam yang senyap mereka bangunkan pena, melumat semua, menumpahkan semua dalam kata. Baik kutu buku maupun penyair, sama-sama menjaikan buku sebagai kehidupan. Jika penyair menjadikan malam dengan sedert buku jadi syair yang elok dan padat, kutu buku mengubah tumpukan buku jadi roti.

Kutu buku sesungguhnya adalah binatang yang pintar. Dia lebih suka membaca konteks ketimbang teks. Dalam situasi dan konteks yang tidak beraturan, dimana segala buku tidak tertata dengan baik, ia membacanya itu sebagai peluang. Teks yang seharusnya kau baca, dilumatnya perlahan. Hanya penyair yang serupa kutu buku. Membaca konteks-konteks, meberi isi atasnya lantas menuliskannya dalam hanya sepenggal kalimat yang mungkin membuat kita menggeleng kepala.

Kutu buku membenci keteraturan dan apalagi kebersihan. Penyair pun serupa itu, pembenci kemapanan. Keduanya adalah sama-sama makhluk yang asing. Keduanya berusaha untuk melampaui dunia, pada saat yang sama mendekap dalam kesendirian. Dengan hanya cukup terang pelita, mata kutu buku dan pun penyair sudah bisa melihat buku, dan kertas. Dengan cukup satu kursi dan meja tanpa tempat tidur, penyair sudah bisa menemukan dirinya. Dan si kutu itu bergerak di sekitarnya. Keduanya bergulat sungguh hanya untuk melumat sebuah buku. Penyair memelototi kata supaya selanjutnya melahirkan kata, si kutu memelototi kata supaya selanjutnya melahirkan kutu baru.

Catatan ini bukan sesuatu yang serius, sekedar sebuah intermeso di sela suntuk. Penyamaan-penyamaan yang tertera adalah sekedar penyamaan, bukan sama persis. Catatan sederhana ini hanya untuk mengajak semua untuk memilih menjadi pembaca buku atau pemakan buku. Kutu buku dan penyair hanya sebuah perbandingan yang tidak mesti diperbandingkan, sekedar contoh. Sebab di tengah budaya ‘menonton’ rupa-rupanya mata kita perlahan-lahan menjadi mata yang manja. Lelah membaca buku, dan ndai saja buku bisa dijadikan sayuran, mungkin tumpukan buku sudah jadi santapan. Kita melahapnya sambil menonton rekayasa kehidupan dalam sinema elektronik.