5550_13196238452905Aku tiba-tiba saja membayangkan tentang suatu masa yang akan datang. Sebuah masa yang sulit untuk dibilang tahun, apalagi menakar jarak tanggal dan bulan. Di sana aku berada, di tengah generasi kaum jermal. Orang-orang yang hidup di atas pancang-pancang gala. Di tengah laut yang senyap. Diselimuti bau garam. Digerogoti pesing jeroan ikan. Diintai selalu amuk gelombang. Yang batas pandang melintang utara selatan, timur dan barat hanyalah cakrawala. Ringkasnya, aku berada pada sebuah panggung paling menantang yang para aktornya sudah sedang mementas lakon episodic dari sebuah drama paling realis yang mencoba kembali ke drama rakyat.

Pun menariknya bahwa generasi jermal adalah generasi merdeka. Tidak ada ketakutan yang terpancar dari mata-mata mereka. Pandangan mereka jauh di lepas ke depan. Membentur kaki langit mencoba untuk melampaui resiko-resiko yang mungkin bakal terjadi. Raut wajah mereka kokoh tegar. Tutur mereka datar walau sesekali intonasinya bergelombang.

Di bawah segala tempaan nestapa mereka dibesarkan menjadi pemenang. Di atas pancang-pancang mereka kibarkan bendera kebebasan. Seperti kaki-kaki mereka yang gagah. Di atas jermal mereka temukan kekuatan untuk kembali menyulam hidup yang nyaris saja punah dimakan ngengat kekuasaan dan kerakusan yang dibalut dalam adagium ubi societas ibi justicia (di mana ada masyarakat di sana ada hukum) yang ternyata dipelintir.

Hidup di atas jermal bagi mereka, termasuk bagiku yang tiba-tiba terdampar, dengan demikian adalah pilihan yang tepat. Mereka dan juga aku benar-benar terpental ke tempat yang tepat. Ke tempat dimana tidak ada lagi sengketa. Tidak ada lagi beban derita. Tidak ada lagi perendahan martabat apalagi pengabaian atas kehidupan. Dan itu jauh lebih bermartabat ketimbang hidup di tepi garis batas antara jurang kepunahan dan harapan untuk umur panjang. A mari usque ad mare (dari laut ke laut), demikian kata hati mereka mengutip jargon kebanggaan Kanada, yang selanjutnya menjadi kebanggaan mereka juga.

 gambar peta taman nasional komodo

Menjadi Protagonis Dalam Drama Alam

Sebelum dengan sadar pergi bertolak lebih dalam, meninggalkan daratan, membangun jermal dan hidup di atasnya, mereka sebenarnya adalah orang-orang luar biasa. Mereka adalah para pelaut pelintas batas keturunan langsung pelaut-pelaut Bajo-Bugis. Mereka adalah para petualang gelombang. Gelanggang perjuangan hidup mereka adalah lautan dengan sedikit daratan yang dijadikan sekedar sebagai pelepas lelah. Menurunkan layar, melepas sauh buji, menidurkan dayung, memungut kayu, memanen bahan pangan, menimba air dan selanjutnya berteduh.

Konon, mereka bersauh di sudut teluk tenang sebuah pulau terpencil – yang kemudian diberi nama pulau komodo – seluas 336 kilo meter persegi di tepi barat pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Lelakon membawa mereka ke sana, dengan sejuta harap bahwa dari tepi laut berpesisir 181 kilo meter itu mereka tidak hanya dapat merajut kehidupan dengan damai dan beranak pinak dengan tenteram tetapi juga menguat-tegaskan identitas hidup secara permanen.

Dari sanalah mereka memulai kehidupan daratnya. Membuat kerampi dari serat gebang yang tumbuh menyebar sekitar gunung Satalibo, gunung Ara, gunung Todo Klea sebelah utara dan bukit Poreng di sebelah Timur Laut. Sebagai sahabat santapan berlauk ikan, mereka tidak berharap banyak pada padi yang memang tidak memungkinkan untuk tumbuh di atas gersangnya padang. Lantaran itu, kerampi yang ditumbuk-ayak istri dan anak perempuan mereka sudah mencukupi kebutuhan makanan. Sebagai pelepas dahaga, titik-titik mata air yang muncul musiman yang menyebar mulai dari teluk Sebita, Wae Sadrap, Loh Belanda, Loh Srikaya, Gunung Ara, Loh Wia dan Wae Kenaitasi sudah jauh dari cukup.

Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi mereka dipertemukan Tuhan dengan keutamaan-keutamaan. Mereka membangun falsafah dan pedoman hidup dengan meletakkan landasan pada bisikan alam. Mereka diperjumpakan dengan keindahan alam yang dimintai Tuhan untuk dijaga. Mereka meramu kekuatan dalam gerakan tarian panca. Kehebatan kaum perempuannya, mereka kemas dalam alue gele. Dan tentang penderitaan mereka munculkan dalam legenda ina matria.

Yang paling mengangungkan adalah mereka dipertemukan Tuhan dengan kadal raksasa yang kemudian disebut sebagai Komodo. Dalam dan melalui perjumpaan itulah mereka merangkai-bangun legenda dan mitos yang tujuannya bukan untuk omong kosong tentang cinta dari generasi ke generasi. Tetapi menyembulkan keutamaan perihal persaudaraan semesta, bahwa manusia tidak hanya bersaudara, berbagi cinta dengan sesamanya sebagai manusia, tetapi juga dengan seisi alam semesta.

Serupa dalam drama rakyat, dalam darama alam, orang-orang Bajo yang menetap di pulau Komodo entah sejak kapan itu hadir menjadi protagonis yang menyenangkan. Di atas panggung pulau itu mereka pentaskan keseharian dengan penuh cinta dan damai. Tidak ada pelaku antagonis yang diperankan. Kadal raksasa komodo adalah saudari bagi  pelaku utama. Empu Najo dikisahkan melahirkan keduanya sebagai saudara kembar untuk menjadi penjaga. Seorang disebut orah yakni komodo dan seorang yang lain disebut gerong atau orang-orang Bajo.

Orah atau Komodo merawat habitat sekaligus penjaga ekosistem darat dan Gerong atau orang-orang bajo merawat ekosistem laut. Keduanya tidak pernah saling makan memakan. Cinta jauh lebih kuat dari rasa lapar akan tulang apalagi rasa haus akan darah. Sekalipun ada legenda tentang air mata Ina Matria, yang kemudian menjadi karang dalam luka, semuanya melejitkan makna bahwa tentang Ina Matria mereka belajar untuk tidak berprasangka buruk, iri hati, cemburu dan apalagi dendam.

Dari drama rakyat itulah menyusul drama-drama baru yang menyentuh rasa kadang bernuansa alegoris, misteris, liris, satir, moralis, historis, pun kadang tari dan bahkan sampai tendens. Tetapi semuanya dipentaskan secara domestic dan realis. Tuhan sang sutradara membiarkan mereka pentas dengan lapang. Tanpa rekayasa apalagi dipelintir kepentingan. Walau datar dan kesahajaan tampak begitu kuat, tapi sajian latar alam yang elok nan indah memberi nuansa sendiri bahwa drama yang sesungguhnya adalah drama yang apa adanya. Drama yang tidak merekayasa nilai dan keutamaan, apalagi memuat kepentingan yang kemudian berakhir jadi balada.

Menjadi Antagonis Dalam Drama Absurd

Sampai pada suatu ketika, tahun 1980 drama rakyat pulau komodo berubah. Ubi Societas Ibi Justicia, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum yang mesti ditegakkan. Lelakon orang-orang Bajo yang sudah bergenerasi dibangun tiba-tiba direbut negara dengan paksa. Negara hadir sebagai protagonist dengan tampang kekuasaan dan pisau undang-undangnya untuk diberlakukannya kawasan pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya sebagai Taman Nasional. Sebuah pentas yang selanjutnya disaksikan tampak sangat absurd. Lantaran tidak hanya mengabaikan dan melanggar konvensi alur, tetapi juga penokohan dan makna tematiknya.

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika orang Bajo, penghuni pulau Komodo diletakkan sebagai pelaku antagonis, penentang dan korban yang mesti dikalahkan dalam drama besar kehidupan. Selanjutnya babak demi babak orang Komodo berperan bisu. Bersuara seperlunya dan jika tidak memungkinkan akan di-dubbing oleh para actor lain yang seolah-olah mirip, seolah-olah menyerupai. Namun jauh panggang dari api, sekedar sebagai suara, kebutuhan akan peran sesungguhnya yang mau dimainkan oleh orang Komodo justru tidak dijawab. Orang Komodo menjadi bisu, sebisu pahatan beku patung-patung Komodo, sebisu patung ina matria.

 gambar zonasi

1.   Mula-Mula adalah Drama Duka

 Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya antara lain Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang dan beberapa pulau lain yang semuanya menjadi panggung pentas seluas 2.321 km2 dibentuk menjadi Taman Nasional pada 1980.  Tujaun dibentuknya Taman Nasional adalah 1) Mengembangkan suatu kawasan konservasi darat dan perairan di Taman Nasional Komodo, yang sepenuhnya melindungi komunitas alami, spesies, dan ekosistem darat, pantai dan perairan. 2) Menjamin kelangsungan hidup satwa Komodo dalam jangka panjang dan menjaga mutu habitatnya. 3) Memanfaatkan sumberdaya kawasan secara lestari, untuk wisata, pendidikan, dan penelitian. 4) Melindungi populasi ikan terumbu karang dan invertebrata dalam kawasan konservasi dari eksploitasi, sehingga dapat berfungsi sebagai dan jaminan bagi sumber perikanan perairan di dalam dan sekitar kawasan.

Sudah sejak itu, orang-orang Bajo penghuni pulau Komodo mulai ditata-rias bukan hanya demi kebutuhan panggung Taman Nasional, tetapi juga demi kepentingan-kepentingan yang tersembunyi yang terlalu pekat untuk ditelisik. Simaklah empat tujuan di atas, tidak satu pun yang menyentuh sisi kemanusiaan manusia, semisal menjaga dan melestarikan manusia yang memiliki keunikan dan kekhasan budaya.

Justru sebaliknya, orang Komodo diberi peran yang tidak memungkinkan dalam drama pembangunan yang absurd ketimbang bagaimana satwa unik Komodo (Varanus komodoensis) dirias-rawat. Atau bagaimana negara merawat burung gosong (Megapodius reinwardt), tikus Rinca (Rattus rintjanus), rusa Timor (Cervus timorensis), 1000 jenis spesies ikan, 260 spesies karang, 70 spesies bunga karang. Dugong (Dugong dugon), lumba-lumba (10 spesies), paus (6 spesies), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) serta penyu hijau (Chelonia mydas) dan seterusnya.

Inilah mula-mula, jika kiita diminta menyimak dengan hati nurani apa yang sudah sedang dipentaskan di panggung nan megah Taman Nasional Komodo. Bukan drama rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan dalam segala bidang kehidupan. Bukan pula drama tari yang memegahkan keindahan anugerah Tuhan atau apalagi drama liris bernuansa liturgis. Tetapi yang tersaksikan, walau sebenarnya tidak semua orang bisa menyaksikannya adalah sebuah pementasan tendens nan duka. Sebuah drama yang sudah sedang mementaskan kepincangan-kepincangan peradaban yang sengaja dirasionalir dengan pembangunan kemanusian. Dan pada saat yang sama kita menyaksikan duka, lantaran secara perlahan pelaku untamanya mengalami masa mundurnya. Bukan lantaran terjadi secara alamiah karena dipangkas usia, tetapi lantaran diambrukkan dengan paksa oleh tikaman-tikaman pisau kepentingan.

2.   Direkayasa Menjadi Antagonis

Ketika itu Negera merayakan hari kemerdekaannya, 17 Agustus 2010. Semua warga tentunya merefleksikan kemerdekaan sebagai kebebasan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Lantaran secara filosofis memang negara menjaminnya, bahwa negara yang merdeka adalah rakyat yang berdaulat. Berdaulat untuk memperjuangkan dan selanjutnya menikmati hak-haknya.

Namun tidak bagi Mujahidin, Ibrahim dan kawan-kawan. Hak mereka untuk menyejahterakan keluarga, memberi makan kepada keluarga, mencari uang, menangkap dan menjual ikan, singkatnya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga justru dipangkas. Mereka dijeruji pasal-pasal tindakan pidana Kehutanan dengan hukuman 1 tahun 4 bulan penjara dengan denda lima juta rupiah lantaran mengambil hasil laut tanpa Izin di Loh Ginggo yang dalam peta Taman Nasional Komodo masuk dalam Zona Bahari.

Sebelumnya, jika Mujahidin lapar, dia bisa memancing ikan tanpa harus meminta izin kepada siapa pun kecuali kepada istrinya bahwa dia akan melaut, kepada anaknya bahwa dia akan segera kembali, pun kepada Tuhan-nya pohonkan restu. Lantaran itu Mujahidin pergi mengambil apa saja tanpa takut diintimidasi. Namun sudah sejak itu, semuanya menjadi berubah. Tidak hanya bagi Mujahidin dan kawan-kawannya, tetapi bagi semua mereka yang disangkar dalam kawasan taman nasional komodo. Visi cultural, ekonomi, social orang-orang kawasan Komodo yang sejatinya a mari usque ad mare (Dari Laut ke Laut) dibatasi.

 gambar grafik jumlah gangguan

3.   Penokohan dan Karakter pun berubah

Orang-orang Komodo yang mengambil ikan disebut merusak ekosistem laut, yang mengambik serat gebang untuk kerampi distigma sebagai perambah hutan. Perubahan tokoh dengan stigma, karakter dengan image yang demikian bukan hanya merusak falsafah hidup orang-orang Komodo. Tetapi juga meruntuhkan bangunan peradaban mereka. Menjadi antagonis dalam drama kehidupan itu menyiksa. Mengendap penderitaan secara sadar dan direkayasa adalah pelanggaran terhadap hak hidup manusia.

Namun negara rupa-rupanya tidak ambil pusing dengan semua perbuatan yang mengatasnamakan undang-undang. Kehidupan manusia diabaikan hanya agar mata puas memandang segala keindahan. Martabat manusia diinjak hanya agar taman tertata. Kebutuhan manusia diperkosa dengan jargon pembangunan yang dirasionalir sesungguhnya adalah adalah amoral pembangunan.

Berturut-turut sesudah Mujahidin dan kawan, tersaji di atas pentas sederetan nama lain yang selanjutnya menjadi antagonis. Jumlah kasus selama periode 2010 sampai 2011 mencapai 15 kasus dengan motif yang hampir sama yakni mengambil hasil laut tanpa izin. Dan itu belum terbilang yang sudah terjadi di belakang pentas. Bukan hanya diintimidasi dan diinteregosi tetapi juga dihilangkan selama-lamanya.

4.   Konvensi Alur Yang Dipelintir

Tokoh direkayasa berdasarkan skenario. Dalam drama absurd siapa pun tidak pernah tahu apa yang diperankannya. Sutradara menjadi kunci. Di tanganya skenario diarah, di tangannya pula tokoh-tokoh direkayasa. Dan sang pemeran harus pula tunduk atas naskah, selanjutnya diminta pentas sejauh mau sang sutradara.

Pengelolaan taman nasional komodo adalah proses perihal pementasan drama absurd itu. Ketentuan undang-undang membagi taman nasional komodo berdasarkan zonasi adalah salah satu pembelokan alur yang hebat nan kejam. Di balik zonasi ada zina kekuasaan dan kepentingan. Penguasaan panggung dalam drama dibatasi, bukan lantaran peran tetapi karena rangsekan kebrengsekan kehendak yang lahir dari sebuah skenario kepentingan.

Undang-undang tentag Zonasi dibuat agar tampak teratur dan tertata. Pasal 6 Peraturan Menteri Kehutan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional diuraikan secara pragmatis. bahwa  a) Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. b) Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

c) Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya. d)  Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. e)  Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. f)  Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. g)  Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjukjditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.

Dalam konteks taman nasional komodo dikelolah lembaga taman nasional komodo Zona inti adalah kepentingan. Tidak ada kegiatan apa pun yang bisa merangsek masuk ke zona ini termasuk Tuhan jika Dia hendak memelihara kucing atau anjing. Karena negara, Sang sutradara melarangnya. Hal yang sama terjadi untuk zona pemanfaatan wisata, zona pemanfaatan tradisional, zona khusus penelitian dan pelatihan. Sedangkan Zona pelagis dan zona pemukiman tradisional diberi kelonggaran yang terbatas.  Orang komodo seperti sudah sedang bermain di kolong rumahnya sendiri dengan sedikit menyentuh pesisir. Selebihnya dilarang. Alur kehidupan orang komodo pun beralih-ubah. Mereka tidak hanya lagi berkibar dari laut ke laut tetapi dari dinding kamar ke pesisir. Sebuah pemenggalan akan tradisi pun peradaban yang tragis. 

5.   Pengabaian Atas Makna Tematik

Adakah dalam drama kehidupan yang alur kehidupan seseorang direkayasa? Jika jawabannya adalah ada atau ya, tentu saja mesti ditakar-ukur sejauh mana rekayasa itu menjawab kebutuhan akan kehidupan dalam rentangan tradisi dan bangunan peradaban kehidupan. Jika tidak memungkinkan tetapi dicoba-paksakan maka akan tercipta pereduksian terhadap nilai-nilai kehidupan (kemanusiaan). Dan perihal itu terpentas dalam kawasan taman nasional komodo.

Semua geliat pembangunan berkaitan dengan pengambangan kawasan taman nasional komodo melulu tertuju kepada pembangunan ekonomi. Sementara kesehatan, pendidikan apalagi tradisi dan budaya tampaknya dianaktirikan. Tradisi, identitas diri, nilai-nilai cultural dan symbol peradaban dibekukan.

Pengelolah, pihak Taman Nasional Komodo suatu ketika mendatangkan para pemahat patung dari Gianyar Bali untuk melatih orang Komodo dan sekitarnya supaya selanjutnya dapat menjadi pemahat patung. Sebagian orang mengakui keberhasilannya. Lantaran sebagian orang Komodo kini sudah beralih secara perlahan dari pelaut menjadi pematung.

Gagasan tentang masa lalu, secara perlahan tidak hanya dibekukan tetapi pula redup. Dan gagasan tentang keseharian apalagi masa depan kian menjadi tunggal. Kompleksitas soal terkesan hanya diukur secara ekonomi. Demikian juga solusinya. Nilai-nilai cultural, keutamaan-keutamaan sosial dengan demikian sudah merasa cukup terwakili lewat patung-patung bisu. Tidak ada terobosan solusi lain yang coba digagas-bangun. Mendasarkan diri pada masa lalu menjadi sebuah pegangan yang tidak mungkin dan omong kosong.

Dan itu jelas merupakan pengabaian atas makna tematik dalam drama kehidupan. Jika peran yang dimainkan tidak berlandaskan pada jiwanya, maka sudah barang tentu, yang terpental adalah kemanusiaan itu sendiri. Lantas selanjutnya yang mencungul ke permukaan adalah simbolisasi artificial atas semuanya.

Pengabaian atas makna tematik drama kehidupan orang komodo kian menjadi runyam manakala menakar sumber daya manusianya. Sekolah sebagai medium pencerdasan dan penguatan sumber daya manusia yang dalam tataran social menjadi pintu gerbang perubahan justru minim perangkat dan fasilitas.

Sebagaimana dijelaskan dalam “Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Komodo (Buku 1, Rencana Pengelolaan hal. 13)” bahwa tingkat pendidikan rata-rata di desa-desa Taman Nasional adalah tingkat empat sekolah dasar. Terdapat sebuah SD di setiap desa, tetapi tidak setiap tahun menerima murid. Rata-rata, setiap desamempunyui empat kelas dan empat guru. Di Kecamatan Komodo ada tiga jenis SD: SD Negeri,SD Inpres, dan SD Swasta. Kebanyakan anak dari pulau-pulai kecil di Kecamatan Komodo(Komodo, Rinca, Kerora, Papagaran, Mesa) tidak tamat SD. Untuk masuk SMP anak harusdikirim ke kota Labuan Bajo, tetapi ini jarang dilakukan oleh keluarga nelayan.

 gambar grafik jumlah penduduk

Sampai Suatu Saat Memilih Jermal

Lelakon orang komodo yang terpentas dalam drama absurd yang terentang panjang sudah sejak 1980 sampai kini adalah sebuah pembunuhan atas kehidupan manusia. Pembunuhan yang yang dilakukan secara ber-babak. Semua jargon pembangunan dan pemberdayaan yang dikemas undang-undang dan aneka kebijakan hanyalah sekedar sebagai obat penenang. Namun rasa sakit yang sesungguhnya, penderitaan yang sebenarnya tidak tersentuh menyembuhkan.

Sampai suatu saat, ketika sakit itu menjadi akut. Duka itu dipendam dalam kepundan kesabaran. Identitas dikebiri berulang jadi ngeri. Maka akan segera lahir generasi sadar yang dengan caranya sendiri melawan secara elegan untuk segera pergi. Pada suatu ketika, seperti yang sudah dikata dimuka, bahwa pada sebuah masa yang sulit untuk dibilang tahun, apalagi menakar jarak tanggal dan bulan. Generasi sadar orang-orang komodo lebih memilih menjadi kaum jermal.

Orang-orang yang hidup di atas pancang-pancang gala. Mereka akan pergi bertolak lebih ke dalam untuk bersedia tinggal di tengah laut yang senyap. Walau diselimuti bau garam, digerogoti pesing jeroan ikan, diiintai selalu amuk gelombang. Sekalipun  batas pandang melintang utara selatan, timur dan barat hanyalah cakrawala. Mereka akan lebih memilih panggung kebebasan untuk kembali mementas lakon episodic dari sebuah drama paling realis.

Dan saya membayangkan itu. Pada ketika saya harus menjadi bagian dari mereka. Di sana pada suatu saat kelak, orang komodo akan kembali menjadi protagonist. Mereka akan kembali merajut alur berangkat dari kerangka tematik yang kembali coba dirancangbangun.

Di sana tidak akan ada lagi zonasi. Pilah memilah kepentingan. Tidak ada lagi actor lain apalagi sang sutradara yang menyudutkan mereka. Hukum yang mereka bangun adalah dari laut ke laut. Dan itu jauh lebih bermartabat ketika harus menambatkan tali sampan di daratan. Sebaliknya di atas pancang-pancang gala, mereka kibarkan identitas dan jati diri yang sesungguhnya. Kebebasan untuk menengakkan harkat dan martabat kemanusiaan adalah yang utama dan pertama, menyusul yang lainnya adalah pemenuhan atas sandang, pangan dan papan. Dan itu bisa dengan sendirinya datang. Jika jiwa yang bebas bisa mendayung sampan kembali ke darat untuk sesekali menjual ikan sambil menimba air tawar, membeli bahan makanan dan mengumpulkan kayu bakar.

Seperti itulah generasi jermal. Mereka jauh terpencil di tengah lautan. Tetapi mereka justru lebih dekat dengan matahari, bulan dan bintang. Mereka lebih dekat dengan alam. Lebih dekat dengan Tuhan. Dari sinilah drama yang sesungguhnya kembali terpentas tanpa dikekang naskah. Alur sejarah, penokohan dan tematisasi kehidupan dirangkai-kemas bukan hanya jadi pementasan yang menarik untuk disimak, tetapi juga bermakna untuk dihargai harkat dan martabatnya.