“Jangan taruh otakmu dipantat” atau “Otak dengkul” atau “Otakmu sama dengan pantatmu” atau “dengkul” saja, atau “pantat” saja. Pantat dan dengkul atau hanya dengkul saja, atau hanya pantat saja, adalah istilah untuk menggambarkan tentang keterbatasan manusia, entah karena keteledoran, kebodohan dan atau karena kesalahpahaman.

Seorang guru yang kesal karena anak muridnya tidak pernah mengerti matematika, walau sudah berulang diajar-jelaskan mungkin akan mengatakan anak muridnya ‘dengkul’.  Ketika seseorang salah mengucapkan kata atau kalimat yang menyinggung perasaan orang lain, kadang akan dibalas dengan kalimat yang seolah-olah setimpal ‘kalau mau bicara yang sopan dong, mikir pake otak, bukan pake pantat’.

Lantaran kita malu, nanti-nantinya atau jangan-jangan disebut sebagai manusia berotak ‘dengkul’ dan atau menaruh otak di ‘pantat’, kita lantas berusaha untuk berbuat yang baik dan benar, bertutur kata secara sopan santun dan seterusnya termasuk belajar yang giat dan tekun. Ini adalah solusi yang sangat baik. Dan kebanyakan orang (dan atau pada umumnya) mengambil langkah ini.

Namun pernahkah kita berpikir untuk memaklumi ucapan dan atau ‘umpatan’ di atas, dengan misalnya memikir dengan pantat atau dengkul? Bagi saya cara berpikir serupa ini bukan tindakan yang salah, tetapi sebaliknya selain kita menerima kekurangan dan keterbatasan kita, juga pada saat yang sama kita lebih kreatif dalam cara berpikir. Sebagian orang tentu saja akan mengatakan ini ini adalah solusi aneh, tetapi jika dipikir-pikir cukup masuk akal dan mungkin pula menjadi solusi yang baik.

Dalam peristiwa-peristiwa perjumpaan saya, tidak jarang saya dipanggil-sebut sebagai manusia berotak ‘dengkul’ atau kadang diumpat ‘kalau mikir pake otak, bukan pake pantat’. Pada mulanya saya malu dan bahkan marah. Namun lama kelamaan saya menganggapnya sebagai yang baik. Menghadapi ucapan, sebutan dan umpatan itu sesungguhnya saya bangga, sebab dengan demikian saya selalu diingatkan untuk mengajak pantat dan dengkul untuk bersama kepala melakukan kegiatan yang disebut berpikir.

Memikirkan sesuatu agar sesuatu menjadi lebih baik dan berguna, cerdas dan bermartabat dalam kehidupan adalah merupakan upaya segenap diri manusia. Jika manusia melakukan kegiatan yang disebut berpikir, maka yang bekerja bukan hanya pekerjaan otak yang bergumuruh di kepala, tetapi juga kaki yang menjejak di lantai, dengkul dan tungkai yang tenang dan kokoh, pantat yang tidak beringsut, hati yang jernih-diam di balik dada, mulut yang terkatup, mata yang tidak ‘jelalatan’ dan pun pula situasi di luar diri yang aman dan kondusif.

Inilah yang saya maksudkan dengan ‘mikir pake pantat’ dan atau ‘otak serupa dengkul’ artinya mengajak pantat dan juga dengkul untuk turut berpikir tentang, untuk dan demi perubahan diri manusia itu sendiri. Pantat dalam kebodohan dan atau ke-bau-annya memberikan pijakan, jejakkan tempat untuk duduk diam dan tenang, demikian pula dengkul sekalipun kosong selalu memberikan kekuatan kepada manusia untuk terus berlari mengejar mimpi-mimpinya.

Ini pula yang disebut sebagai sinergi segenap diri manusia. Tidak hanya paduan klasik antara otak dan hati, tetapi juga seluruh elemen diri manusia, termasuk anggota-anggota tubuhnya. Mengabaikan salah satu anggota tubuh ketika manusia melakukan kegiatan yang disebut berpikir adalah tidakan yang bukan hanya keliru tetapi juga bodoh.

Ringkasnya, bagaimana mungkin kita dapat berpikir untuk menjadi tekun dan telaten kalau mata ‘jelalatan’, pantat terus bergoyang karena dengkul dan tungkai selalu berjalan tidak tentu arah? Kepintaran manusia, salah satu faktornya ditentukan oleh ketekunan. Ketekunan dihasilkan sebagai buah dari konsistensi. Konsistensi diri merupakan proses sinergi diri. Sinergi diri adalah proses belajar yang berulang bagaimana seorang pribadi (manusia) menggunakan segenap dirinya untuk melakukan perubahan dan perbaikan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain.