Warna hidup Nurillah, kian hari kian berwarna. Keindahan kepribadiannya terpancar dari senyumnya yang selalu merekah. Terbit dari ketekunannya dalam menjalankan ibadah. Tampak dari semangatnya mengajarkan shalat kepada anak-anak. Nyata dari kecintaannya kepada keluarga Habib Ridzki. Juga hadir dalam ketulusan perhatian dan kasih sayangnya kepada Azam.

Semuanya menjadi begitu mempesona. Begitu indah. Untuk dan dalam semuanya, Ia melakukannya dengan tulus dan ikhlas. Ia memberikan apa yang menjadi kewajibannya, ketika ia harus mencintai. Ia tidak menuntut lebih karena ia tahu batas-batas haknya. Ia menyerahkan semuanya, segalanya, karena ia yakin cinta pada hakikatnya adalah memberi sebagai mana Allah memberikan cinta-Nya kepada manusia.

Berbeda dengan Nurillah, Azam justru menjadi pribadi yang lelah. Rapuh. Hari-harinya kian sepi. Sunyi. Menyendiri adalah pelarian. Perpustakaan menjadi ruang pelepasan. Segala buku dilumatnya. Segala kertas dicoretnya. Namun semuanya tanpa bentuk dan rupa. Semuanya tanpa arah. Terobang-abing. Linglung.

Diamnya tampak bagai sembahyang. Sendirinya seperti  doa. Namun sesungguhnya ia tidak punya apa-apa selain setumpuk daging berisi kecemasan yang mendalam atas keputusannya yang akhirnya membuatnya menjadi pribadi yang kesal. Biji-biji tasbih yang mengalir dari jari-jarinya adalah susunan kepingan-kepingan cintanya bersama Sarah. Allah bagai terabaikan dalam kecemasan dan kebimbangannya yang mendalam.

“Astaqfirullahalazim…. Astaqfirullahalazim… Astaqfirullahalazim”

Azam menengadah.  Memohon pegampunan Allah atas keputusannya sesalnya. Ia merasa sangat berdosa karena telah mengungkapkan cinta kepada Nurillah, karena ternyata dari hati kecilnya yang paling dalam sebenarnya ia mengatakan tidak. Tidak hanya itu, salahnya bagai berlipat ganda, setelah ia membayangkan Sarah yang terjebak dalam duka. Juga karena salahnya.

Cintanya kepada Nurillah hanyalah pelariannya atas penyesalan dan kegundahannya ketika ia tidak dapat memberikan kepastian cintanya atas Sarah.  Cinta yang dibangungnya bersama Nurillah bagai sandiwara. Segala senyum yang ditebar, sikap dan penampilannya yang menawan serta keelokan tutur katanya kepada Nurillah kian hari menjadi kian hambar.

Ia tidak hanya menjadi pecundang bagi Sarah, tetapi juga bagi Nurillah. Lebih dari itu sebenarnya ia telah mempermainkan ketulusan dan kesucian cinta.  Ia telah menjadikan cinta sebagai duri. Kelopak cinta luluh dan jatuh berguguran jadi sampah, yang berdiri tegak adalah duri-durinya pada carang-carang yang pongah. Dia menyadari dirinya sebagai carang yang pongah.

“Astaqfirullahalazim…. Astaqfirullahalazim… Astaqfirullahalazim” Azam kembali melepaskan istiqfar. Ia menitihkan air mata. Dalam sujud yang khusuk Azam melantunkan taubat dan petunjuk.

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِيْ، وَنُسُكِيْ، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِيْ لأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِيْ لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَا، لاَ يَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ بِيَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
“Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi, dengan me-megang agama yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang yang mus-yrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim. Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku ada-lah hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kula-kukan). Oleh karena itu ampunilah selu-ruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang mengampuni dosa-dosa, ke-cuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik, tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang jahat, tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripada-nya, kecuali Engkau. Aku penuhi pang-gilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu, kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu”.