Sudah sejak ia menjadi muslimah, hari-hari hidunya kian bergairah. Perpustakaan kampus tidak lagi menjadi ruang samadi. Taman kampus tak lagi menjadi tempat pelepasan gundah. Dewi dan Dinda, dua sahabatnya, tak lagi menjadi pelimpah beban. Kamarnya pun tidak lagi menjadi penjara.

Alam pun menjadi sahabat setia dimana segala kebahagiaan dibagikan. Ketika langit cerah, menggelantung penuh bintang, walau bulan redup, ia tetap setia memandang. Dari balik jendela tak jenuh ia menengadah melepaskan niat-niat. Ia meyakini sungguh alam dan Tuhan mengetahui segala rasa dan hasratnya.

Sepanjang hampir dua bulan itu, wajahnya kian cerah. Senyumnya kian menawan. Jelitanya menjadi kian tampak. Perubahan itu menjadikannya sebagai wanita terindah dan penuh bahagia. Keindahan dan kebahagiaan yang lahir dari jiwa yang ikhlas. Jiwa yang senantiasa mensyukuri nikmat Allah dalam dan untuk segala kehidupannya.

Demikianlah Sarah, kian hari hidupnya kian mekar bagai bunga. Ia tumbuh dan berkembang menjadi muslimah yang kian hari kian kaya dalam pengetahuan dan iman. Ia tekun beribadah, rajin menghafal dan melafalkan aya-ayat suci Al-Quran, pun pula tidak mengeluh melaksanakan amal kasih.

Pada pergaulan ia semakin diterima, baik di kampus maupun dalam lingkungan sosial masyarakat Malabiah. Ia tidak hanya dikenal sebagai pribadi yang cerdas, tetapi juga penyayang, ramah dan murah senyum. Pribadi yang solehah. Ia dikagumi setiap laki-laki, dicintai, tetapi juga disegani karena keramahan dan penampilannya yang santun.

Semuanya benar-benar berubah. Siapa pun bagai tak lagi mengenal sosok Sarah Ling. Bahkan, bukan hanya dirinya sendiri yang hampir melupakan nama itu. Nama Tionghoa yang diberikan orang tuanya 17 tahun silam. Tetapi juga, semua sahabat dan kenalannya. Semuanya bagai pergikan masa lalu itu.

“Azzahara”

Itulah nama yang dipilihnya ketika menjadi seorang muslimah. Dan sudah sejak itu pula ia dipanggil Zahra. Sebuah nama, yang oleh Ustazd Zainudin, guru agamanya, meramalkan akan menempatkannya sebagai salah satu ‘anggota keluarga’ kesayangan Nabi  Muhammad

“Aku ingin menjadi bagian dari keluarga Nabi. Menjadi seperti Siti Fatimah Azzahara, putri bungsu kesayangan Rasulallah s.a.w.” Tekad Sarah atas plihan namanya itu.

Demikian kisah mula-mula Sarah memilih mengganti namanya menjadi Azzhara. Nama itu tidak hanya memberikannya motivasi untuk menjadi pribadi yang tampil menawan dan jelita secara fisik, yang dalam pergaulannya selalu hadir bagai bunga yang mekar semerbak (az-zahara).

Tetapi juga menjadi pribadi yang selalu memancarkan pula kesetiaan dan ketaqwaan kepada Allah. Pribadi yang khusuk dan setia beribadah serta tekun menjalankan nilai-nilai islami. Ia hendak menjadi pribadi yang tulus berbagai kasih, pun pula sederhana serta tetap sabar dan tegar walau diterpa aneka badai masalah yang sudah dan mungkin bakal terjadi.

“Aku mau menjadi seperti Siti Fatimah Azzahra yang telah mengorbankan seluruh hayatnya untuk kepentingan Islam dan Ummatnya, baik dalam suka maupun dalam duka”

“Tidak hanya itu. Siti Fatimah digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab, hasab dan nasab…Aku mau belajar menjadi seperti itu” Berulang Zahra memanjatkan niatnya itu. Pada setiap saat dan kapan saja.