Seperti apakah gadis Aceh? Yang saya bayangkan sebagai sebuah jawaban sementara adalah bahwa gadis Aceh tidak hanya tangguh di medan laga dan cerdas di ruang kelas/kuliah, tetapi juga anggun di ruang public dan cantik di ranah privat/keluarga.

Pertanyaan dan juga bayangan atas jawabannya sudah muncul ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar jauh di pelosok Flores Nusa Tenggara Timur. Guru sejarah yang merangkap segala bidang studi pada ketika itu menunjukkan kepada kami anak-anak kelas lima dua gambar pahlawan nasional perempuan dari Aceh: Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia.

“Perempuan Aceh itu cantik-cantik, santun dan anggun karena selalu pake jilbab ” demikian kata guruku ketika itu. Dia tersenyum. Kawan-kawan saya yang muslim spontan berteriak “Nah makanya pake jilbab, biar cantik”. Teriakan itu membuat belasan gadis kecil lugu tampak tersipu malu. Kami terkekeh. “Tapi kenapa di dua gambar itu, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia tidak pake jilbab?” tanya seorang teman perempuan. “Oh, ini rupanya bukan foto aslinya, ini kan lukisan” jawab guru mengelak “Tapi biasanya perempuan Aceh itu pake jilbab” lanjutnya. Kami mengangguk.

Itu kisah kecil masa lalu. Dan lantaran kisah itu dan dua wajah perempuan itu, entah mengapa membuat saya bangga dan kagum pada perempuan Aceh. Bagaimana tidak, terlukis dari wajah-wajah mereka, tidak hanya secara fisik terpendar aura kecantikan alami, tetapi juga ketangguhan dan kekokohan.

Yang membuat saya lebih kagum adalah bahwa keesokan harinya, setelah melihat dua gambar itu, belasan teman kelas saya yang kemudian mengenakan jilbab. Wajah mereka imut-imut, lucu-lucu membuat guru sejarah kami tersenyum dan guru agama geleng-geleng kepala.

Sebagai murid yang beragama katolik, bersama dua teman yang lain, kami bangga pada teman-teman sekolah dasar kami yang yang mayoritas muslim. Dua gambar, dan satu teriakan ternyata cukup ampuh menyadarkan sekaligus menegaskan tentang siapa sesungguhnya mereka.

Sekalipun itu pantulan sementara yang melahirkan motivasi yang mungkin belum sempurna, namun sesungguhnya itu modal penting untuk perubahan yang lebih besar. Gadis-gadis kecil yang lugu dari pelosok Flores Nusa Tenggara Timur telah menahbiskan diri. Mereka telah menunjukkan diri bahwa ‘kami juga mau seperti Cut Nyak Dhien, seperti Cut Meutia. Kami juga mau cantik dan tangguh seperti mereka, apalagi kami seagama, seiman dan sekeyaninan’

Bagian kedua di SINI