Sebagai sebuah kota, Jakarta adalah kata. Sebuah kata yang tidak sekedar sebagai kata, lantaran tidak mudah untuk diurai, tidak mudah untuk dibaca. Serupa sebuah kata yang yang tak terbaca. Lebih tepat disebut sebagai sekumpulan huruf-huruf, carikan coretan-coretan, bilah goresan-goresan.

Jakarta itu, jika mau dilukiskan, serupa sebuah garis merah melingkar, dilapis hitam yang tegas. Biru menjiplak pada bidang yang lain sebuah hijau melintang. Ada kuning melengkung diagonal melewati barisan warna abu-abu, merah marun dan jingga senja. Sedertan huruf A B C hingga Z yang menyembul tidak beraturan. Pada bidang yang lain melejit garis-garis menindis sekumpulan huruf yang juga tindih menindih.

Pertanyaan kita selanjutnya adalah, siapa yang mencoret siapa, apa mencoretkan apa, saling mencoret. Menjadi garis, membentuk gores, menjadi kata yang tak terbaca.

Namun demikian, sebagai sekedar kumpulan huruf, sebagai sekedar kata yang tak terbaca, sebagai coretan, Jakarta sebagai kata adalah sekumpulan garis-garis, gores-gores yang pada setiap garisnya, pada setiap goresnya punya arti, punya makna.

Setiap garis diterakan, secarik coret yang ditorehkan punya cerita dan latar belakang. Semuanya lahir dari proses yang panjang dan melelahkan. Entah oleh siapa, dan entah tentang apa.

Sekumpulan huruf, coretan-coretan, goresan-goresan itu adalah definisi diri dari setiap pribadi. Semuanya mewakilkan pribadi, melukiskan diri manusia-manusia kota Jakarta. Manusia-manusia itu mencoretkan garis, merankaikan arti. Tidak seorang pun tahu hendak menuliskan apa dan atau merangkaikan apa.

Lantaran itu, memaknai Jakarta adalah merajut garis dan gores itu. Termasuk, jika kita hendak memahami siapa sesungguhnya kita, dan atau menemukan diri sebagai apa kita di tengah kota yang bernama Jakarta.

Jakarta adalah ruang imajinasi yang absurd. Hanya keyakinan bahwa anda dapat menafsirkan siapa anda di tengah hiruk pikuk garis, carut marut gores maka anda akan keluar sebagai pemenang. Anda harus menafsirkan diri anda maka anda akan keluar sebagai sebagai sebuah kata, entah politisi, artis, pelacur atau preman.

Pada garis dan gores, dalam coretan-coretan dan kata-kata yang tak terbaca tentang wajah sebuah kota, anda bisa menemukan diri anda sebagai kata yang bermartabat, namun jika tidak, anda dapat saja terjerembab menjadi sampah dan orang-orang kalah.

Siapa suruh datang Jakarta? Jika anda tidak sanggup menjawab pertanyaan ini, anda tidak pantas datang ke kota rimba kata yang tak terbaca. Hanya mereka yang dapat menafsirkan dirinya di tengah rimba kata yang bernama Jakarta, maka dengan tegas mereka akan menjawab “Karena aku mau, maka aku datang”.

Sebelum menjawab soal yang bernama ‘siapa saya di tengah Jakarta?’ pesan guru sekolah dasar, bacalah soal dengan teliti, bacalah garis-garisnya, tafsirkan coretannya, dan maknailah dia dengan bijak. Selamat menafsirkan Jakarta.