atasKahlil Gibran benar-benar terperanjat. Ketika memasuki Beutung Ateuh, ia menunduk penuh haru. Ia meneteskan air mata. Ia tidak menyangka jika Wadi Qadisha, tempat dimana masa mudanya berkelana itu benar-benar ada di Nanggroe Aceh Darusallam.

 

”Nazareth, Betlehem, Jerusalem, Tirus, Sidon, Tripoli, Baalbek, Madinah, Damaskus, Alepo, Palmyra, Paris, dan Boston, adalah tempat-tempat yang aku kunjungi. Namun yang paling berpengaruh dalam hidupku adalah Wadi Qadisha. Di sanalah untuk pertama kalinya aku mengalami keindahan alam dan merasakan kedekatannya. Alam bagiku adalah sumber inspirasi, tempat di mana imajinasi itu muncul dan berkembang” Ia berhenti.

 

“Sekarang aku di Beutung Ateuh. Beutung Ateuh serupa Wadi Qadisha”. Sejenak menarik napas kemudian melepaskannya perlahan. ”Beutung Ateuh, juga Wadi Qadisha seperti meninggalkan peradaban modern dan membenamkan jiwa dan raga ke dunia masa lalu yang tak mengenal batas waktu” katanya penuh reflektif.

 

”Beutung Ateuh serupa Wadi Qadisha merupakan sebuah tempat  yang indah dan menakjubkan, dan ia memiliki kekuatan besar yang memaksa pikiran untuk melontarkan kata-kata yang kita miliki untuk keabadian.” katanya lebih lanjut kemudian diam.

 

Matanya jauh manatap lepas tanpa sasar. Pandangannya seperti sedang mencari kata-kata keabadian itu. Kadang pandangannya menjulang ke awan dimana halilintar dan hujan bersemayam. Sesekali melempar layang ke kerumunan anak-anak hingga jauh ke dasar tingkah canda. Sesekali pula matanya membentur dinding-dinding rumah, masuk ke kamar dan periuk masak, lantas keluar melewati pintu belakang menyapa taman-taman dan kebun-kebun. Sasarannya pun menyapu segala terang dan gelap dari kejauhan pinggiran Leuser sampai ke bawah pangkal pohon dekat tapaknya dipijak.

 

Gibran mungkin sedang melukiskan puisi di ruang imajinasinya, kataku dalam hati. Aku terdiam tanpa kata, tetapi tetap mencoba  mengaisnya di antara kabut khayal. Tapi tidak menemukan apa-apa, walau sebenarnya Gibran sejenak mengajakku masuk ke dasar rasa, dimana seharusnya imajinasi berkelana memetik buah langlang buana.

 

Entah kata, entah rasa yang aku temukan di lembah Beutung Ateuh adalah sebuah Lembah dimana segala kehidupan menjalin hubungan secara harmonis. Jika ada kisah tentang tanah janjian dan atau taman eden maka di Beutung Ateuh mungkin serupa itu. Serupa Wadi Qadisha, kata Gibran.

 

“Kawan” serupa perpisahan, serupa sapaan Gibran menghilang. “Gibran…Gibran…Gibran..” huruf-huruf betebaran di ruang umajinasiku. Seperti hilang berkelebat di antara lembah, antara kerikil, antara batu dan cadas dan juga arus terbawa. Gibran benar-benar menghilang dan aku pun terpasrah. Bersimpuh lusuh pada debu.

 

“Kawan, aku di sini” huruf-huruf kembali terbang mancari. Sumber suara menguap antara debu tanah dan asap sampah. Mungkin juga terjungkal di buliran embun pagi atau terseret di arus sungai. Tersangkut di antara batu, atau melayang diterbang bangau putih. Tapi aku tidak patah semangat karena Gibran ada di Beutung Ateuh. Gibran ada di sini. Imajinasiku akan berkelebat di antara desah napasku selama aku masih di Beutung Ateuh.